*Klinting*
Terdengar suara seorang wanita membersihkan ikan. Di kios paling ujung pasar tengah desa itu, dia sibuk mengupas sisik lima ekor ikan Gurame. Pesanan Bu Andi yang diambil nanti siang.
Suara itu, bukan dari pisau yang digunakan. Bukan pula dari receh kembalian di kaleng uang. Melainkan gesekan sejumlah gelang emas di tangannya. Lima belas di kanan, lima belas di kiri.
Dia suka memakai gelang emas. Pikirnya, semua keuntungan penjualan harus ditabung. Disimpan untuk masa depan anak-anak. Karena tidak percaya bank dan tidak bisa menaruh uang di rumah, akhirnya dipilihnya emas. Selalu melekat pada dirinya.
Namanya Bu Susi. Umur tidak muda lagi. Badan tak sekuat dulu lagi. Dia pun pernah berkata pada ketiga anaknya. "Nak, bila ibu tidak ada, gelang ini ibu tinggalkan untuk kalian"
***
Keseharian Bu Susi banyak dihabiskan di pasar. Bukan di rumah, seperti ibu-ibu lainnya. Baginya, pasar seperti surga, sementara rumah layaknya neraka. Bila anak-anak belum pulang sekolah, dia tak berani ke rumah. Pak Didi, suaminya, kejam sekali. Suka memaksa dan memukuli.
Setiap hari minta jatah, dari hasil penjualan ikan. Seorang pengangguran dan gemar bermalas-malasan sepanjang hari. Mengisap rokok dan sering berjudi. Bila kalah, amarahnya dilampiaskan ke istri.
"Mana uang" Malam itu, Pak Didi memaksa lagi. Dia kalah judi.
"Gag ada" Bu Susi menjawab. Dia terpaksa berbohong. Demi tabungan anak-anak. Setiap kali suami memaksa meminta gelangnya untuk berjudi, dia selalu menolak. "Ini bagian anak-anak!"
"Ngapain aja kau seharian, masak tak bawa uang" Pak Didi mengambil sapu lidi. Dipukulkan kencang sapu itu ke arah tangan istrinya. Bu Susi, yang sudah lelah berjualan, berteriak kesakitan. "Arrrrggghh"