Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Gelang Emas Sang Penjual Ikan

4 November 2020   17:26 Diperbarui: 4 November 2020   17:32 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Antara/Rahmad

Anak tertuanya lekas melerai. Dia paling berani dibanding kedua adiknya. Paling tak tega melihat ibu disakiti. "Cukup Pak" Tangannya merebut sapu itu. 

Setiap kemarahan Pak Didi disertai umpatan kebun binatang yang tak enak didengar. Bertahun-tahun Bu Susi memilih bertahan, demi anak-anak. Dia takingin mereka malu dan dicela, karena orangtuanya bercerai.

***

Suatu ketika, karena kekalahan berjudi bertubi-tubi melanda, Pak Didi berkali-kali naik darah. Hal itu membuatnya terkena serangan stroke berat. Ditambah lagi, dia pernah divonis kanker paru-paru. Dia pun akhirnya terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Harus operasi.

Biaya operasi dan perawatan mencapai puluhan juta. Keluarga itu tak punya apa-apa lagi. Tinggal tiga puluh gelang emas tersisa. Bu Susi pun bertanya pada anak-anak.

"Nak, tidak apa-apa ya, bagianmu ini untuk membayar perawatan Bapak?"

"Tak sudi aku Bu. Ngapain ibu menolongnya? Ibu tidak tahu perlakuannya selama ini?" Anak kedua mengambil suara. Dia bahkan tak sudi menyebutnya Bapak. Sama sekali tidak layak.

"Aku sepakat. Biar aja Bapak mati. Gag usah ditolong, buat apa? Gag guna" Si bungsu memanas-manasi.

Bu Susi galau. Dia bingung. Sebagai istri dan ibu, harus memilih mana. Menjual gelang untuk suami, bagian anak-anak hilang. Memilih anak-anak, suaminya bisa tak tertolong.

Akhirnya diambil keputusan. "Nak, temani ibu ke toko. Ibu mau jual gelang ini" Dia memilih suami. Anak sulungnya kemudian menemani. Di toko emas itu, seluruh gelang laku terjual dan nilainya sama persis dengan biaya pengobatan.

Malam itu, di ruang tunggu rumah sakit, Bu Susi berkata pada anak-anak. "Nak, seburuk apapun perilaku Bapak, dia tetap bapakmu. Tanpa dia, kamu tidak ada di dunia. Jadi ikhlas ya nak, nanti uang bisa ibu cari lagi"

Bu Susi menolong suaminya, yang telah menyiksanya.

...

Jakarta

4 November 2020

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun