Anak tertuanya lekas melerai. Dia paling berani dibanding kedua adiknya. Paling tak tega melihat ibu disakiti. "Cukup Pak" Tangannya merebut sapu itu.Â
Setiap kemarahan Pak Didi disertai umpatan kebun binatang yang tak enak didengar. Bertahun-tahun Bu Susi memilih bertahan, demi anak-anak. Dia takingin mereka malu dan dicela, karena orangtuanya bercerai.
***
Suatu ketika, karena kekalahan berjudi bertubi-tubi melanda, Pak Didi berkali-kali naik darah. Hal itu membuatnya terkena serangan stroke berat. Ditambah lagi, dia pernah divonis kanker paru-paru. Dia pun akhirnya terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Harus operasi.
Biaya operasi dan perawatan mencapai puluhan juta. Keluarga itu tak punya apa-apa lagi. Tinggal tiga puluh gelang emas tersisa. Bu Susi pun bertanya pada anak-anak.
"Nak, tidak apa-apa ya, bagianmu ini untuk membayar perawatan Bapak?"
"Tak sudi aku Bu. Ngapain ibu menolongnya? Ibu tidak tahu perlakuannya selama ini?" Anak kedua mengambil suara. Dia bahkan tak sudi menyebutnya Bapak. Sama sekali tidak layak.
"Aku sepakat. Biar aja Bapak mati. Gag usah ditolong, buat apa? Gag guna" Si bungsu memanas-manasi.
Bu Susi galau. Dia bingung. Sebagai istri dan ibu, harus memilih mana. Menjual gelang untuk suami, bagian anak-anak hilang. Memilih anak-anak, suaminya bisa tak tertolong.
Akhirnya diambil keputusan. "Nak, temani ibu ke toko. Ibu mau jual gelang ini" Dia memilih suami. Anak sulungnya kemudian menemani. Di toko emas itu, seluruh gelang laku terjual dan nilainya sama persis dengan biaya pengobatan.
Malam itu, di ruang tunggu rumah sakit, Bu Susi berkata pada anak-anak. "Nak, seburuk apapun perilaku Bapak, dia tetap bapakmu. Tanpa dia, kamu tidak ada di dunia. Jadi ikhlas ya nak, nanti uang bisa ibu cari lagi"