"Engga tuh. Aku bersyukur sama Tuhan, di umurku sekarang, mendapatkan kamu. Ini semua kulakukan, semata-mata memenuhi nazarku pada-Nya". Mendengar itu, istrinya kagum. Dia terpukau dengan kesetiaan suaminya dalam menjalankan nazar.
Sayangnya, kekaguman itu dinilai terbalik oleh tetangga. Suatu saat, Bu Ali bermain ke rumah mereka. Ketika Bu Ali bertemu dengan istrinya, dilihatnyalah Pak Didi sedang memasak. Dua jam mereka berbincang, dua jam pula memori Pak Didi mengerjakan pekerjaan rumah tangga terekam baik di ingatannya.
"Bu, tahu ngga Bu, masak Pak Didi masak coba. Habis itu nyapu dan ngepel. Ihh, laki-laki kok segitunya ya. Jangan-jangan, dia takut istri lagi" Celoteh Bu Ali kepada Bu Susi di toko kelontong Bu Mimin.
"Hah, masak iya Bu" Bu Susi terkaget-kaget.
"Iya. Waktu saya ke rumahnya, Pak Didi udah kayak ibu-ibu. Semua dikerjain. Gag malu lagi, ada saya di situ" Bu Ali semakin menggosok cerita. Ketiga ibu-ibu di situ kemudian menyebarluaskan cerita itu. Secepat angin berembus, secepat itu pula warga kampung mengetahui. Teman baik Bu Didi bahkan konfirmasi langsung padanya.
"Bu, ibu tahu, suami ibu jadi omongan di kampung ini?" Dia bertanya via WA.
"Kenapa Bu?" Bu Didi menanggapi.
"Iya, kata mereka, Pak Didi itu suami takut istri. Ibu bentak-bentak dia ya, sehingga mau bersih-bersih rumah?"
Bu Didi terdiam. Tidak dibalas WA itu. Dia bercerita pada suami. "Pak, Bapak sudah tahu kabar tentang Bapak?"
"Tentang itu ya, hahaha. Udah, gag perlu diambil pusing. Biarin aja mereka cap kita seperti apa. Toh, yang menjalani rumah tangga ini kan kita" Jawab Pak Didi dengan bijak. Pak Didi udah duluan tahu. "Aku juga tidak perlu cerita tentang nazarku sama mereka. Apa gunanya?"
Bu Didi tersenyum. Dia semakin kagum dengan suami. Mulai saat itu, dia mengikuti tabiatnya. Sesekali, dia mencuci motor, membersihkan kotoran burung, mengerjakan kegiatan pertukangan di rumah, dan membantu pekerjaan lain suami.Â