Alkisah, hiduplah seorang pemuda berumur kelewat batas (dibanding teman sebaya) yang belum menikah. Dia berperawakan tinggi besar, bertubuh atletis, dan berwajah tampan. Bila dinilai dengan angka, mendekati seratus.
Tampilan fisik yang sempurna, sama persis dengan sikapnya. Menuntut segalanya dikerjakan cepat dan tepat. Tidak boleh ada satupun yang salah. Bila salah ditemukan karena perilakunya, dia mengutuki kebodohannya. Bila salah karena perilaku orang, orang itu habis diomelinya.
Namanya Didi. Bulan depan, dia menginjak umur 40 tahun. Karena sikapnya ini, beberapa wanita yang pernah menaruh hati padanya, menjadi mundur seribu langkah. Mereka tidak kuat dengan omelannya.
Suatu saat, di tempat ibadah, Didi merenung. Dengan pembina rohani, dia berkeluh kesah.
"Pak, kenapa ya, sampai sekarang Tuhan belum ngasih aku jodoh"
Pak Joko, yang terbiasa mengurusi konseling menimpali. "Didi, sebetulnya takada yang salah dengan Tuhan. Dia hanya meminta kamu berubah. Kamu terlalu menuntut semua serba sempurna, padahal setiap orang punya kekurangan. Justru, setiap pasangan ada karena butuh untuk saling melengkapi"
Kalimat Pak Joko terus terngiang di kepala. Dia tersentak. Malam itu, dia bernazar sama Tuhan. Bila suatu saat Tuhan memberi jodoh, dia tidak akan segan menggunakan kelebihannya, untuk membantu mengerjakan pekerjaan istri. Dia juga berjanji, akan membuka diri dan tidak serta merta mengomeli kesalahan istri.
Usut punya usut, sepertinya Tuhan ingin menguji nazarnya. Benar saja, tak berapa lama setelah percakapan itu, Didi dipertemukan dengan seorang wanita. Parasnya tidak cantik dan juga tidak rajin. Tetapi, entah kenapa, Didi menaruh hati padanya.
Waktu berlalu, pernikahan terjadi. Dalam rumah tangga, seperti nazarnya, Didi membantu istri dalam segala hal. Semua dikerjakan sempurna dan tepat waktu. Mulai dari memasak, menyapu, mengepel, belanja ke pasar, memomong anak, Didi tak malu melakukan.
Istri sempat bertanya padanya.
"Yang, terima kasih ya Yang, udah bantuin aku. Kamu gag malu ngerjain ini semua?"
"Engga tuh. Aku bersyukur sama Tuhan, di umurku sekarang, mendapatkan kamu. Ini semua kulakukan, semata-mata memenuhi nazarku pada-Nya". Mendengar itu, istrinya kagum. Dia terpukau dengan kesetiaan suaminya dalam menjalankan nazar.
Sayangnya, kekaguman itu dinilai terbalik oleh tetangga. Suatu saat, Bu Ali bermain ke rumah mereka. Ketika Bu Ali bertemu dengan istrinya, dilihatnyalah Pak Didi sedang memasak. Dua jam mereka berbincang, dua jam pula memori Pak Didi mengerjakan pekerjaan rumah tangga terekam baik di ingatannya.
"Bu, tahu ngga Bu, masak Pak Didi masak coba. Habis itu nyapu dan ngepel. Ihh, laki-laki kok segitunya ya. Jangan-jangan, dia takut istri lagi" Celoteh Bu Ali kepada Bu Susi di toko kelontong Bu Mimin.
"Hah, masak iya Bu" Bu Susi terkaget-kaget.
"Iya. Waktu saya ke rumahnya, Pak Didi udah kayak ibu-ibu. Semua dikerjain. Gag malu lagi, ada saya di situ" Bu Ali semakin menggosok cerita. Ketiga ibu-ibu di situ kemudian menyebarluaskan cerita itu. Secepat angin berembus, secepat itu pula warga kampung mengetahui. Teman baik Bu Didi bahkan konfirmasi langsung padanya.
"Bu, ibu tahu, suami ibu jadi omongan di kampung ini?" Dia bertanya via WA.
"Kenapa Bu?" Bu Didi menanggapi.
"Iya, kata mereka, Pak Didi itu suami takut istri. Ibu bentak-bentak dia ya, sehingga mau bersih-bersih rumah?"
Bu Didi terdiam. Tidak dibalas WA itu. Dia bercerita pada suami. "Pak, Bapak sudah tahu kabar tentang Bapak?"
"Tentang itu ya, hahaha. Udah, gag perlu diambil pusing. Biarin aja mereka cap kita seperti apa. Toh, yang menjalani rumah tangga ini kan kita" Jawab Pak Didi dengan bijak. Pak Didi udah duluan tahu. "Aku juga tidak perlu cerita tentang nazarku sama mereka. Apa gunanya?"
Bu Didi tersenyum. Dia semakin kagum dengan suami. Mulai saat itu, dia mengikuti tabiatnya. Sesekali, dia mencuci motor, membersihkan kotoran burung, mengerjakan kegiatan pertukangan di rumah, dan membantu pekerjaan lain suami.Â
Perilaku Bu Didi kembali lagi jadi buah bibir. Mereka dianggap keluarga terbalik di kampung itu. Hingga cerita ini dituliskan, kisah mereka masih semerbak, bahkan tenar hingga kampung sekitar. Pak Didi dan istri konsisten, tidak ambil pusing menanggapi kabar.
"Mereka justru semakin menikmati dan mengerti, apa arti saling melengkapi, dalam pernikahan yang sejati."
***
Jakarta
31 Oktober 2020
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H