Zaman sekarang, mencari duit diakui susahnya minta ampun. Banyak orang menjadi susah akibat terkena pemutusan hubungan kerja, dan curahan hatinya gampang ditemui di berbagai media yang ada. Itu semua gegara Corona.Â
Eits, tapi tunggu dulu, penulis tidak akan bahas tentang Corona di sini. Tulisan ini hanyalah bahasan singkat tentang cerita orang yang meminta-minta di jalanan, pengemis namanya.
Sudah sangat terbiasa terdengar kabar bahwa pengemis telah ditemukan kaya raya di kampungnya, memiliki harta dan rumah yang mewah. Ini semua dibeli dari hasil mengemis uang di kota besar, ibukota salah satunya.Â
Selain itu, modus membawa anak ketika meminta-minta, juga kerap kali ditemui di sekitar lingkungan kediaman kita. Bukan anaknya sendiri, tetapi hasil menyewa, sebagai modal mencuri perhatian sewaktu mengemis. Inilah selidik punya selidik, dimana penulis pernah baca beritanya.
Ada pula yang pura-pura cacat, berdandan sedemikian rupa sehingga terlihat seolah-olah cacat, untuk menarik simpati orang yang melewatinya. Meskipun, ada pula yang cacat benaran.
Bahkan, di salah satu kanal media sosial, ada yang sengaja membuntuti seorang pengemis, karena diliputi rasa ingin tahu bagaimana sebenarnya kehidupan sehari-hari pengemis tersebut. Setelah aktivitas mengemis yang dia lakukan di jalan-jalan kota besar, apa yang berikutnya dia kerjakan.Â
Pengemis ini mengemis dalam kondisi terlihat bungkuk dan mengenakan tongkat sebagai alat bantu untuk berjalan. Setelah diselidiki, ternyata setelah mengemis, ia melepaskan "baju dinasnya", menggantinya dengan busana yang terlihat mewah di dalam sebuah mobil, serta menggunakan uang hasil mengemis untuk berbelanja. Waooowww...
Memang terlihat kasusnya terjadi di luar negeri, tetapi tidak menutup kemungkinan di dalam negeri bisa pula ada.
Lalu, apa yang bisa dipahami dari cerita tersebut?Â
Ini adalah sebuah tindakan seseorang dalam mencari uang (penulis tidak suka menyebut sebagai penghasilan, karena penghasilan hanya untuk balasan orang yang bekerja, sementara mengemis bukanlah sebuah pekerjaan) dengan mempermainkan rasa iba orang-orang. Sebuah rasa yang berbelas kasihan, terharu, dan kasihan, kurang lebih seperti itu KBBI menjelaskannya.
Mereka para pengemis mencari akal bagaimana caranya mudah mendapatkan uang tanpa harus bekerja keras. Dengan berpenampilan menyedihkan yang menimbulkan rasa iba, itulah salah satu hasil pikir otak mereka.Â
Cerdik bukan? Cerdik, karena modal sedikit, untung berbukit-bukit. Dan kecerdikan ini sedikit banyak berhasil meraup rupiah yang tidak sedikit nilainya. Menggiurkan.
baik untuk memberi. Dengan mempermainkan rasa ibanya.
Kecerdikan ini sekaligus juga adalah sebuah kejahatan. Mengapa begitu? Karena mereka telah menipu orang-orang yang berniat...
Jadi kesimpulannya?Â
Penulis tidak bermaksud mengajarkan untuk selalu menanamkan rasa curiga kepada pembaca setiap kali menemui kalangan seperti mereka.Â
Penulis juga tidak melarang pembaca untuk memberi bantuan karena rasa iba. Hanya saja, lebih baik kita lebih cerdas pikir menghadapinya, agar tidak kalah dengan kecerdikan mereka.Â
Lagian, sudah banyak pula lembaga-lembaga resmi yang pekerjaannya memang mengumpulkan dana untuk membantu orang-orang yang kesusahan, salah satunya yang benar-benar mereka. Salurkan saja lewat lembaga ini.
Jangan karena mudahnya mengedepankan rasa iba, kita telah melestarikan budaya meminta-minta.
"Sesungguhnya, mempermainkan rasa iba adalah sebuah kecerdikan di dalam kejahatan."
Waspadalah! Waspadalah! (Mengutip kata Bang Napi)
...
Jakarta,
15 Juli 2020
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H