Jakarta kota ku indah dan megah,
Di situlah aku dilahirkan
Rumahku di salah satu gang
Namanya Gang Kelinci…
Demikianlah sepotong lirik lagu dengan judul “Gang Kelinci”, yang menjadi bagian dari sekumpulan lagu pada album Golden Hits, Volume 13, dengan penyanyi Lilis Suryani, Tuty Subardjo, dan Titiek Puspa.
Lagu yang dirilis pada tahun 2007 ini, menggambarkan kondisi kota Jakarta ketika masa itu, dengan disertai sebuah cerita fabel tentang seekor kelinci di dalamnya. Terkhusus untuk yang pernah dengar dan familiar, pasti langsung membaca lirik lagu tersebut dalam hati dengan menyanyikannya, hehe.
Berjubel. Itulah salah satu kata yang dibunyikan dengan nada pada lanjutan lirik lagu tersebut. Ketika itu, sang pencipta lagu sudah melihat Jakarta dalam kondisi berjubel, padat penghuninya.
Satu tahun sebelum lagu itu rilis, pada tahun 2006, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta (Jakarta Dalam Angka 2007), tercatat Jakarta dihuni oleh penduduk sebanyak 8.961.680 orang, yang menginjak bumi Jakarta seluas 661,52 km2.
Luas wilayah yang cenderung tidak bertambah luas dan jumlah penduduk yang semakin bertambah banyak, karena salah satunya disumbang oleh kehadiran para pendatang dari luar Jakarta, semakin meningkatkan tingkat kepadatan penduduk di ibukota ini dari tahun ke tahun. Iya, tingkat kepadatan penduduk yang dihitung dari jumlah penduduk dibagi dengan luas wilayah.
Di tahun 2006 berdasarkan data yang telah diurai di atas, terhitung tingkat kepadatan penduduk kota Jakarta senilai 13.547 orang/km2, artinya wilayah seluas 1 km2 di kota Jakarta dihuni oleh 13.547 orang. Pada data terbaru yang dirilis di tahun 2020, tercatat kepadatan penduduk di tahun 2019 senilai 15.900 orang/km2, artinya wilayah seluas 1 km2 di kota Jakarta dihuni oleh 15.900 orang.Â
Dengan kata lain, dari periode tahun 2006 sampai dengan tahun 2019 (kurun waktu 13 tahun lamanya), telah terjadi penambahan penduduk sebanyak 2.353 orang dalam setiap 1 km2 wilayah Jakarta. Sehingga, tidak salah pula ketika kita katakan bahwa kata “berjubel” yang diulas di atas masih relevan sampai kondisi saat ini. Tambah padat malah.
Kepadatan ini salah satunya disebabkan karena banyak orang yang tertarik dengan masa depan yang ditawarkan di kota Jakarta, termasuk para pendatang di dalamnya. Sebagai pusat ibukota negara, memang diakui banyak pengusaha-pengusaha kelas kakap menaruh lokasi induk perusahaannya di kota ini.
Mulai dari sektor perbankan, industri manufaktur, pertambangan dan energi, pelayanan jasa, dan masih banyak lagi. Selain itu, terlihat pula di mata kita, terbangun dengan megahnya hotel-hotel berbintang, dari bintang satu sampai dengan bintang lima, yang berdiri di atas tanah Jakarta.Â
Belum lagi ditambah dengan adanya peluang usaha UMKM di sekitar usaha-usaha besar tersebut. Semua ini berpotensi menjadi lapangan pekerjaan yang potensial untuk dilamar dan memesona di mata para pencari pekerjaan.
Para pendatang yang tertarik akan masa depan pekerjaan yang cemerlang ini, penulis kelompokkan rata-rata dalam tiga kelas. Kelas orang yang punya keterampilan, orang yang punya koneksi/link dengan orang yang telah bekerja terlebih dahulu di Jakarta, sampai kepada yang tidak memiliki keterampilan dan hanya hitung kancing menanti keberuntungan dan bertaruh masa depan di Jakarta. Semua bernafsu.
Tidak ada yang salah dengan nafsu mereka. Semua berhak untuk berusaha memperbaiki dan meraih masa depannya. Tetapi yang sering terjadi, khusus kelas yang ketiga, ketika mereka tidak mampu bersaing dan tidak memiliki kompetensi yang “menjual”, maka mereka hanya menjadi beban bagi kota Jakarta. Pengangguran dan kemiskinan pun mulai muncul.
Belum lagi permasalahan terkait banjir dan kemacetan, yang menjadi masalah klasik yang tidak pernah sepi dipergunjingkan oleh mereka yang suka mengamati problematika kota Jakarta.
Saya pribadi yakin, sebagai salah satu penduduk kota Jakarta, selama kita terus berusaha dan berharap, pasti suatu saat masalah ini terselesaikan dengan baik meskipun harus berjalan perlahan. Tentunya, dilandasi dengan kerja sama yang baik antara pemerintah dengan masyarakatnya.
Akhirnya, terlepas dari segala polemik yang ada, pada hari ini, Senin, 22 Juni 2020, di hari ulang tahunmu ini, Jakarta, tetaplah semangat.Â
Wahai seluruh jajaran pemerintahan kota Jakarta dan para masyarakatnya.
Semoga di hari ulang tahun Jakarta yang kali ini tidak bisa dirayakan semeriah seperti biasanya karena ulah si Corona, kita tetap semangat untuk mengatasi permasalahan yang belum usai, dan membangun kota Jakarta ke arah yang lebih baik.
Selamat ulang tahun kota Jakarta yang ke-493,
Dirgahayu.
Dari salah seorang pendudukmu,
yang juga menginjak tanahmu, Jakarta.
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H