Setidaknya ada tiga modus "penipuan hukum" yang secara riel terjadi di bidang perburuhan negeri ini akhir-akhir ini.
"Penipuan hukum" modus yang pertama adalah ANCAMAN DENDA bagi pekerja tetap yang [hendak] mengundurkan diri dari pekerjaannya. Pekerja tetap di sini diartikan sebagai pekerja yang diikat dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, PKWTT). Ancaman denda ini biasaya amatlah besar, setidaknya dari sudut pandang pekerja, yakni berkisar antara puluhan juta rupiah hingga miliar rupiah, tergantung jenis pekerjaan.Â
Ancaman denda ini biasanya dinyatakan secara tegas-tegas di dalam perjanjian kerja yang ditanda-tangani oleh pekerja yang bersangkutan dengan perusahaan tempatnya bekerja. Ancaman denda yang demikian sesungguhnya TIDAK BOLEH dan TIDAK SAH apabila pekerja yang bersangkutan terikat Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dengan perusahaan. Ancaman denda yang demikian itu hanya boleh diterapkan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yakni ketika pekerja kontrak hendak mengundurkan diri sebelum masa kontraknya berakhir.
 "Penipuan hukum" modus yang kedua adalah mengikat pekerja dengan PERJANJIAN PERDATA 'BIASA', dan BUKAN DENGAN PERJANJIAN KERJA. Akibatnya, setidaknya menurut perusahaan (majikan), hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan (majikan) tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan bukan pada UU No.: 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.Â
Akibat lebih lanjut, perusahaan (majikan) boleh memberhentikan pekerja TANPA IJIN dari pengadilan hubungan industrial sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 151 ayat (3) jo Pasal 152 UU No.: 13/2003. Apabila hubungan itu berlangsung dalam suasana hukum perdata, dalam hal terjadi pengakhiran hubungan kerja, maka perusahaan (majikan) TIDAK PERLU MEMBAYAR PESANGON, UANG PENGHARGAAN, dan UANG PENGGANTIAN HAK sebagaimana diatur dalam Pasal 156 UU No.: 13/2003.
Secara yuridis, apabila suatu hubungan hukum ditandai dengan adanya unsur-unsur: 1). Pekerjaan; 2). Perintah; dan 3). Upah; maka hubungan itu adalah hubungan kerja (hubungan perburuhan), sehingga oleh karena itu hubungan itu WAJIB DIIKAT DENGAN PERJANJIAN KERJA sebagaimana dimaksud dalam UU No.: 13/2003.
"Penipuan hukum" modus yang ketiga adalah pembayaran iuran BPJS Ketenagakerjaan oleh perusahaan (majikan) LEBIH RENDAH dari yang seharusnya. Kita mengetahui, bahwa Pasal 19 ayat (1) UU No.: 24/2011 tentang BPJS menyatakan: "Pemberi Kerja wajib memungut iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS." Selanjutnya Pasal 19 ayat (2) menyatakan: "Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS."Â
Fakta yang terjadi, ---khususnya untuk pekerja dengan upah yang lebih tinggi dari upah menimum provinsi (UMP)---, perusahaan (majikan) membayarkan iuran BPJS dengan menjadikan UMP di daerah yang bersangkutan sebagai dasar penghitungan nilai nominal iuran. Dengan demikian, jumlah nominal iuran yang dibayarkan menjadi lebih kecil dari yang seharusnya.
Modus yang demikian itu, sesunggunya adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UU No.: 24/2011 tentang BPJS yang berbunyi: "Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."Â
Akan tetapi, pihak kepolisian tidak jarang menghentikan penyidikan atas pengaduan modus tersebut di atas dengan alasan perbuatan itu BUKAN TINDAK PIDANA, karena perusahaan (majikan) sudah mendaftarkan pekerjanya, sudah memungut dan menyetorkan iuran BPJS sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 19 UU No.: 24/2011 tentang BPJS.Â
Adapun kekurangan jumlah nominal yang disetorkan yang nota bene mengakibatkan kerugian pada pihak pekerja dalam bentuk berkurangnya nilai manfaat pertanggungan BPJS, menurut menurut kepolisian, adalah perkara perdata sehingga harus digugat secara perdata di pengadilan.