Syahdan, sorang gadis cantik menawan menghendaki SEORANG PEMUDA KAYA YANG GANTENG untuk menjadi suaminya. Dan itu telah dipermaklumkan secara luas ke seantero negeri. Maka datanglah seorang PEMUDA KAYA namun TIDAK GANTENG.Â
Tak ayal, sang gadis menolak sang PEMUDA KAYA YANG TIDAK GANTENG itu. Alasannya jelas: SANG PEMUDA TIDAK MEMENUHI KUALIFIKASI YANG TELAH DITETAPKAN SEBELUMNYA.
Kali berikutnya, datang PEMUDA TIDAK KAYA YANG GANTENG. Sang gadis pun menolaknya. Alasannya sama: TIDAK MEMENUHI KUALIFIKASI YANG TELAH DITETAPKAN SEBELUMNYA, yakni PEMUDA KAYA YANG GANTENG.
Sang gadis pun ditegur oleh orang tuanya kenapa menolak kedua pemuda yang datang melamarnya. Sang gadis dengan tegar dan tegas menyatakan bahwa yang dia inginkan adalah SEORANG PEMUDA KAYA YANG GANTENG. Bukan pemuda kaya ATAU ganteng. Artinya, kedua syarat itu harus dipenuhi secara simultan.
Sang gadis memang menghendaki pemuda kaya, tetapi TIDAK SEMBARANG PEMUDA KAYA. Pemuda kaya yang diidamkannya adalah pemuda kaya DENGAN KUALIFIKASI TERTENTU, yakni pemuda kaya YANG GANTENG!
Demikianlah, GADIS CANTIK ITU adalah Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, dan pemuda-pemuda itu adalah pasangan capres-cawapres yang berkontestasi di ajang pemilihan presiden.
Yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 untuk dilantik menjadi presiden dan wakil presiden adalah memang pasangan yang MEMPEROLEH SUARA MAYORITAS, akan tetapi TIDAK SEMBARANG MAYORITAS.
Lihatlah, Pasal itu berbunyi:
"Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden."
Yang dikehendaki Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 adalah yang memperoleh suara mayoritas DENGAN KUALIFIKASI TERTENTU. Yaitu perolehan suara mayoritas yang tersebar MINIMAL 20% di LEBIH DARI 1/2 jumlah provinsi yang ada di Indonesia. Mengingat jumlah provinsi yang ada di Indonesia saat ini adalah 34, maka perolehan suara minimal 20% harus dipenuhi di 18 provinsi SELAIN DARI PEROLEHAN SUARA MAYORITAS SECARA NASIONAL.
Bukankah logika yang begitu hanya berlaku jika pasangan capres-cawapres yang berlaga LEBIH DARI 3 (TIGA) PASANGAN? DAN TIDAK BERLAKU JIKA HANYA ADA DUA PASANGAN capres-cawapres?
Persyaratan yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 itu adalah PERSYARATAN TUNGGAL, yakni SUARA MAYORITAS dengan KUALIFIKASI TERTENTU (tersebar di sebagian besar provinsi). Oleh karena itu, PERSYARATAN TUNGGAL itu HARUS DIPENUHI UTUH jika kita menginginkan pasangan presiden-wakil presiden YANG KONSTITUSIONAL SECARA PENUH, BUKAN SEPARUH KONSTITUSIONAL.
Jika kita pahami bahwa syarat yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 adalah PERSYARATAN TUNGGAL, maka argumen yang menyatakan bahwa persyaratan tersebut hanya berlaku jika terdapat lebih dari dua pasangan capres-cawapres sesungguhnya hendak mengatakan bahwa TERJADI KEKOSONGAN HUKUM dalam hal PILPRES DIIKUTI OLEH KURANG DARI TIGA PASANGAM CALON.
Pendapat yang demikian tidak hanya keliru tetapi SANGAT BERBAHAYA SECARA POLITIK & KETATANEGARAAN. Sebab KETIKA KONSTITUSI BERDIAM DIRI tentang suatu hal, maka KEHENDAK RAKYATLAH YANG HARUS MENCARI SOLUSI. Dan pilihan hanya ada dua: REFERENDUM atau PEOPLE POWER...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H