Royalti memutar lagu di stasiun radio memang bukan aturan baru. Hanya saja sebelumnya, selain belum ditegakkan juga ada semacam saling pengertian antara pencipta, penyanyi, aranger dan produser dengan pengelola radio. Sehingga penegakkan aturannya tidak seperti pada stasiun televisi yang secara rutin telah dikenakan aturan tersebut.
Pengaruh radio yang sebelumnya cukup besar dalam promosi, justru jadi "media berbayar" untuk memasarkan album atau single lagu/musik.
Semakin sering diputar di radio maka artis penyanyi akan makin dikenal dan panggilan menyanyi akan berdatangan. Bagi produser juga menguntungkan, karena dulu semakin meningkatkan penjualan kaset dan CD.
Saat ini, sebagaimana media mainstream lain seperti televisi dan surat kabar, radio mulai menyusut peminatnya. Berbagai kemudahan yang diberikan oleh media online dan media sosial "mengkudeta tanpa perlu KLB" dengan meyakinkan supremasinya dalam mempengaruhi persepsi publik.
Tak heran jika blogger, youtuber, selebgram atau influencer dengan jumlah pengikut jutaan jauh lebih "dihargai" ketimbang media mainstream terutama radio televisi yang basis khalayaknya selama ini hanya mengacu pada hasil survey dengan metode sampling.
Dalam hal produksi, jelas media online dan media sosial memberikan kebiasaan baru bagi masyarakat untuk memperoleh hiburan, informasi dan edukasi secara "gratis" (dalam tanda kutip untuk mengingatkan tetap ada kuota yang harus dibeli).
Secara distribusi, media online dan media sosial memiliki kecepatan dan keserentakan serta keluasan jangkauan yang memberi kebebasan masyarakat untuk dapat mengakses kapan saja dan di mana saja, serta dapat menyampaikan pesan kepada siapa saja tidak terbatas ruang dan waktu.
Penguasaan stasiun radio terhadap ruang yang semula jadi kekuatannya dibanding televisi dan surat kabar, kini seperti bukan apa-apa dibanding media online dan media sosial. Demikian pula halnya dengan interaktifitas yang selama ini jadi daya tarik radio dalam membangun loyalitas pendengar.
Satu-satunya yang masih bisa diunggulkan radio adalah dapat didengarkan sambil melakukan berbagai kegiatan seperti mengemudi kendaraan. Itupun sudah dapat dilakukan dengan perangkat gadget yang dapat dibawa kemana-mana.
Masalah kekinian pemilik radio adalah bagaimana kalau penegakan aturan sesuai PP No. 56 tahun 2021 tentang Pengelolaan Hak Cipta Lagu dan/atau Musik benar dilakukan!?
Melihat kondisi saat ini, jangankan stasiun radio daerah yang kue iklannya sangat kecil, yang di kota besar seperti Jabotabek saja sedang menghadapi kebingungan bayar ongkos operasional dan gaji karyawan termasuk penyiar, reporter dan operator. Apalagi kemudian harus membayar royalti pemutaran lagu.
Padahal memutar rangkaian lagu nonstop dengan sedikit ocehan penyiar sudah jadi menu yang belakangan jadi andalan radio dalam mempertahankan pendengar sekaligus ijin siar.
Tak heran jika banyak pemilik stasiun radio mulai berfikir untuk menonaktifkan siaran. Namun itupun bukan tanpa risiko. Menkominfo  dapat mencabut ijin (penggunaan frekuensi) radio apabila tidak bersiaran lebih dari tiga bulan.
Untuk menghindari hal tersebut sepertinya harus ada semacam dialog antara pemilik stasiun radio, industri musik dan pemerintah untuk mendapatkan jalan tengah terbaik.
Selain itu perlu ada upaya khusus untuk meningkatkan posisi tawar radio. Tak lain dan tak bukan dengan menjangkau pendengar hingga batas memadai atau layak jual.
Kalau susah dilawan, jadikan kawan.
Berbagai upaya tentu dilakukan oleh beberapa stasiun radio yang masih memiliki cukup kekuatan. Salah satunya dengan integrasi siaran radio terestrial dengan media online berbasis digital atau radio streaming.
Hal lain yang juga dilakukan adalah penguatan media sosial yang bukan hanya menjadi penunjang promosi, namun dapat berpotensi menjadi sumber pendapatan sendiri. Jual bandling kegiatan promosi dan pemasaran on air dan online serta off air atau off line misalnya.Â
Dengan integrasi dan bandling demikian, pendengar radio dapat diukur secara lebih akurat bahkan dapat dianalisis bukan hanya secara geografis dan demografis namun hingga perilaku dan kecenderungan tertentu.
Dan ini tentu menjadi daya tarik bagi pengiklan yang kebutuhan promosinya hanya bersifat lokal. Radio dan diversifikasi media online dan media sosialnya adalah influencer mikro yang  memiliki keterikatan emosional yang dapat lebih mempengaruhi masyarakat sekitarnya melebihi kemampuan influencer makro.
Pertanyaan selanjutnya apakah radio berbasis frekuensi akan ditinggalkan!? Kalau dasar perimbangannya adalah pengadaan peralatan, biaya perawatan dan perbaikan serta tagihan listrik yang semakin besar sepertinya iya!
Tapi kalau dilihat dari sejarah, dimana radio menjadi alat komunikasi perjuangan yang cepat dan dapat menguasai ruang, hingga dapat menyatukan bangsa Indonesia, sudah selayaknya dipertahankan.Â
Apalagi kecenderungan ketergantungan pada satu saluran komunikasi dalam hal ini yang media berbasis internet perlu dihindarkan. Karena rentan dari berbagai intervensi global.
Karenanya kita selalu perlu saluran komunikasi alternatif untuk menyatukan 17.504 pulau di Indonesia. Perlu kehadiran negara yang lebih berpihak untuk menyelamatkan radio siaran terutama yang memiliki idealisme dan semangat terhadap upaya membangun komunitas lokal dalam nasionalisme dan pengembangan seni budaya setempat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H