Mohon tunggu...
hony irawan
hony irawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penggiat Advokasi dan Komunikasi Isu Sosial, Budaya dan Kesehatan Lingkungan

pelajar, pekerja,teman, anak, suami dan ayah

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sinovac: Aman, Halal dan Gratis Ternyata Belum Cukup!?

16 Januari 2021   07:43 Diperbarui: 16 Januari 2021   11:16 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di belantara pemasaran, konon  hanya ada 2,5 dari 100  orang yang langsung bisa menyetujui sebuah inovasi (hal baru). Mereka adalah perintis untuk kemudian memasarkannya dan menentukan sebuah inovasi ini diterima secara luas atau tidak.

Meski belum didapat hasil penelitian tentang hal itu, berbagai tanggapan di sosial media awalnya memperlihatkan kecenderungan yang sama dalam hal penggunaan vaksin. Lebih spesifik lagi penggunaan vaksin sinovac dengan berbagai argumentasinya.

Keraguan yang mengemuka adalah tentang kehalalannya dan keamanannya (secara kesehatan), ditambah dengan siapa yang harus menanggung biaya. Berat katanya, kalau masyarakat yang sedang sulit ini diharuskan menanggung biaya!

Tiga hal tersebut kemudian terjawab, dengan pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta keputusan pemerintah menggratiskannya. Sesuai teori difusi inovasi, harusnya sudah mulai meningkatkan persetujuan 13,5% masyarakat yang dalam katagori early adopter.

Hal ini juga tak lepas karena pemerintah, bukan hanya di Indonesia, tapi di banyak negara menggunakan retorika demonstratif. Dimana di Indonesia selain menyatakan claim dan warrant tentang keamanan, kehalalan bahkan kegratisan, juga menunjukkan bukti (evidence) bahwa presiden, kepala daerah, dan public figure juga membenarkannya, dengan menjadi kelompok pertama yang divaksin. Ini memberi dorongan yang kuat untuk penerimaan kelompok masyarakat awam untuk setuju dan mau divaksin dengan jenis yang sama.

Yang menjadi masalah kemudian, selain empat hal tersebut, faktor-faktor yang menjadi dasar persetujuan oleh 2,5% kelompok inovator ini juga menjadi dasar keraguan bahkan untuk meraih keseluruhan dari 13,5% masyarakat early adopter hingga beranjak ke 34% kelompok early majority dan 34% kelompok late majority.

Frame utama yang dapat diperkirakan adalah benarkah semata-mata mempertimbangkan kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Hal ini tentu tak lepas dari suasana ekonomi dan pertarungan politik yang berkembang sebelumnya hingga hari ini. Yang secara ringkas menunjukkan masih adanya ketidakpercayaan dari kelompok kritis (saya sebut demikian karena bukan hanya dari yang menempatkan diri sebagai oposisi) yang bahkan dari kalangan yang mestinya mendukung keputusan pemerintah.

Mengingat di tengah upaya yang dilakukan pemerintah agar masyarakat mau dan mampu divaksin (terutama dengan sinovac), telah berkembang dalam percakapan publik tentang konspirasi global yang dilatarbelakangi kepentingan dominasi politik dan ekonomi negara-negara tertentu. Belum lagi ketidakpercayaan pada kemampuan pencegahan penyimpangan anggaran pengadaan vaksin. Setelah sebelumnya menteri sosial berurusan dengan KPK. Yang kurang lebih, secara keseluruhan diluar dari tinjauan kedaruratan untuk segera membentuk Herd Immunity (kekebalan kelompok) di tengah masyarakat.

Satu hal yang terkait dengan itu, yang juga ramai diberitakan adalah tentang efektifitas vaksin sinovac. Dengan membandingkan efektifitas vaksin lain yang digunakan oleh negara lain.

Memang ini sulit dijawab dalam waktu singkat. Mengingat efektifitas vaksin untuk bangsa tertentu mungkin berbeda dengan untuk bangsa lain. Belum lagi kemungkinan bahwa virus yang berkembang di Indonesia adalah virus yang berbeda dengan virus di negara yang membuat vaksin.

Oleh sebab itu, sempat kita dengar ujaran seorang anggota dewan yang menolak vaksin selain yang diproduksi bangsa sendiri. Tentu bukan cuma perkara nasionalisme, tapi terkait dengan ketepatan dan keefektifan vaksin yang diberikan.

Akhirnya, di semesta difusi inovasi akan selalu ada 16% kelompok laggard, yaitu mereka yang terakhir menerima inovasi.

Kalau saja betul kekebalan kelompok sudah terbentuk ketika 80% sudah kebal (divaksin atau karena pelintas) maka kelompok laggard itu aman meski tidak divaksin. Masalahnya sampai berapa lama terbentuknya kekebalan kelompok!? Yakin tidak terpapar Covid19 hingga waktunya tiba!?

Di sini nampak jelas yang diperlukan bukan hanya komunikasi yang persuasif, namun juga advokasi ditingkat masyarakat selaku pengambil kebijakan atas kesehatan diri sendiri yang dapat mempengaruhi kesehatan dan keselamatan banyak orang.

Dalam konteks ini, bayar denda 5 juta perorang bagi yang menolak vaksin tentu jadi tidak sebanding dengan kerugian yang mungkin ditimbulkan. Karena akan menggagalkan seluruh upaya pembentukan kekebalan kelompok yang telah memakan biaya trilyunan rupiah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun