Mohon tunggu...
hony irawan
hony irawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penggiat Advokasi dan Komunikasi Isu Sosial, Budaya dan Kesehatan Lingkungan

pelajar, pekerja,teman, anak, suami dan ayah

Selanjutnya

Tutup

Healthy

"Advocacy Journalism" untuk Demokrasi dan Sanitasi Sehat

23 Maret 2019   10:44 Diperbarui: 23 Maret 2019   17:43 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegiatan jurnalistik dalam berbagai literatur dan praktek di lapangan terbukti mustahil terlepas dari pengaruh ekonomi dan politik media. Oleh karenanya tidak heran jika dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik, perlu diatur dengan rambu-rambu berupa kode etik dan perangkat aturan lain untuk melindungi kebebasan individu dari kebebasan individu lain dalam menyampaikan pendapat di ruang publik.

Kendati demikian keseimbangan akses mengisi ruang publik (media massa) masih menjadi permasalahan, dimana sudah menjadi rahasia umum, media massa cenderung berpihak pada kepentingan penguasa dan pengusaha yang "menghidupinya" (baca: membuatnya dapat tetap hidup).

Di sinilah Jurnalisme Advokasi (JA) atau "Advocacy Journalism" (AJ) berperan untuk memberikan perspektif yang lebih lengkap sehingga terjadi diskusi publik untuk dapat memperoleh kebenaran sebagaimana teori normatif media (McQuail), untuk menjembatani suara penguasa dan pengusaha sebagai simbol kekuatan ekonomi dan politik dengan kepentingan masyarakat luas. 

Sehingga "Advocacy Journalism" inipun saya yakini mampu meredam gesekan sosial yang mungkin terjadi karena tidak seimbangnya saluran aspiratif masyarakat luas, akibat ketidakpercayaan terhadap media massa yang dominan mengusung kepentingan ekonomi dan politik nya semata.

Di sisi lain peran media massa sebagai "watch dog" sekaligus pilar keempat demokrasi selain eksekutif, legislatif dan yudikatif, semakin bias manakala penguasaan media massa oleh para aktor politik yang dalam beberapa kasus merangkap juga sebagai pengusaha. 

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana seorang wasit bisa menilai secara obyektif kalau dia juga pemain !? Sehingga dapat dikatakan Jurnalisme Advokasi juga dapat meredam kemungkinan rusaknya demokrasi karena menghidupkan kembali fungsi kontrol media massa terhadap proses demokrasi.

Oleh karena itu diperlukan bukan hanya pesan tentang perlunya ruang redaksi yang lebih steril dari kepentingan pemilik media massa, namun perlu adanya kebijakan yang lebih kongkrit tentang itu selain tindakan terukur dalam memberi insentif dan disentif bagi pelaku media massa.

Justru dengan mengembalikan fungsi media massa sebagai kontrol sosial dan pilar demokrasi akan nenjadikan media massa (cetak dan elektronik) kembali dipercaya publik dan mampu menjembatani aspirasi masyarakat sehingga meredam kemungkinan gesekan sosial karena kebuntuan saluran aspirasi.

Bersamaan dengan dipercayanya media massa, bisa menjadi semacam "clearing house" bagi masyarakat atas informasi yang diperoleh lewat sosial media. Dengan kata lain, jika ingin memberantas hoax, kembalikan lagi fungsi media massa sebagai kontrol sosial dan pilar demokrasi. Kembalikan lagi keberpihakkan media massa kepada kepentingan masyarakat yang perlu dibela !

Jurnalisme Advokasi untuk Pengarusutamaan Pembangunan Sanitasi Indonesia

Secara sistimatis Indonesia telah mulai melakukan upaya pembangunan sanitasi secara komprehensif sejak tahun 2006, lewat Tim Teknis Pembangunan Sanitasi (TTPS) yang melibatkan beberapa kementerian terkait yang dikoordinasi oleh kementerian PPN/Bappenas, dengan pesan kunci advokasi "sanitasi urusan kita bersama". 

Pesan ini bertujuan untuk menyadarkan segenap pihak termasuk kementerian terkait, berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, bahwa sanitasi berdampak bagi semua orang, oleh karenanya  "semua harus berbuat, karena semua menanggung akibat !".

Hingga 2010, berdasarkan pilot project di 6 kota, melahirkan pendekatan perencanaan Strategi Sanitasi Kota (SSK) sebagai blueprint pembangunan sanitasi dengan prinsip; 1. skala kabupaten/kota, 2. berbasis data empiris, 3. Mempertemukan pendekatan "top down" dan "bottom up" dan 4. disusun oleh dan untuk kabupaten/kota itu sendiri.

Pada periode 2010-2015,  lewat program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) dengan kata kunci "Sensanitasional",  dimulailah fase scaling up yang lebih intesif dimana pendekatan SSK dilakukan secara nasional hingga digunakan oleh 444 kabupaten/kota pada saat itu.

Kemudian, pada awal tahun 2015 lewat kata kunci "Universal Access untuk Air Minum dan Sanitasi"  dimana target Sanitasi Tuntas (Santun) dicanangkan hingga akhir 2019, selain meningkatkan kabupaten/kota yang telah menyusun SSK lebih dari 500, juga mulai permodelan implementasi SSK yang lebih sistematis di 90 kabupaten/kota di 9 provinsi di Indonesia.

Jelang akhir 2019, di tengah tuntutan yang semakin meningkat tidak hanya terkait akses tapi juga kualitas layanan sanitasi, sebagaimana amanat Sustainable Development Goals (SDGs), upaya advokasi perlu diarahkan pada pembentukan persepsi publik; pentingnya "Sanitasi Tuntas  Berkelanjutan dan Berkualitas" (Santun Berkelas). 

Khusus untuk pengambil keputusan nasional dan daerah pesan kunci advokasi adalah mendorong untuk lahirnya inovasi kebijakan yang memberi kemudahan bagi masyarakat agar mau dan mampu mendukung pencapaian Santun Berkelas.

Peran jurnalisme advokasi sangat besar dalam peningkatan capaian pembangunan sanitasi Indonesia dari masa ke masa. Keberpihakkan media massa untuk mendorong pengambil keputusan pusat dan daerah termasuk swasta dan lembaga sosial, lembaga masyarakat serta lembaga keagamaan, berdasarkan pengalaman yang dilakukan selama ini melalui;

1. Penyediaan akses data dan informasi akurat, mudah, cepat dan tanpa biaya, selain 
2. kegiatan-kegiatan tematis yang menarik dan aktual sesuai dengan kondisi terkini, serta 
3. pendekatan khusus baik formal maupun informal dengan media massa, blogger/vloger dan penggiat media sosial, dan
4. pemberian insentif bagi pelaku jurnalistik advokasi untuk pembangunan sanitasi yang dapat berupa award, lomba maupun bentuk lain berupa skema hibah kompetitif.

Tentu kegiatan advokasi melalui media massa tidak dapat efektif tanpa kegiatan advokasi langsung tatap muka  Namun jurnalisme advokasi, baik lewat media massa, media sosial dan media berbasis internet lain, mampu menjangkau khalayak lebih luas dan lebih cepat dengan seketika. Keduanya saling menguatkan dan memberi percepatan dampak dalam konteks difusi (penyebaran) inovasi.

Hony Irawan

Jagakarsa, Sabtu, 23 Maret 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun