Kegiatan jurnalistik dalam berbagai literatur dan praktek di lapangan terbukti mustahil terlepas dari pengaruh ekonomi dan politik media. Oleh karenanya tidak heran jika dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik, perlu diatur dengan rambu-rambu berupa kode etik dan perangkat aturan lain untuk melindungi kebebasan individu dari kebebasan individu lain dalam menyampaikan pendapat di ruang publik.
Kendati demikian keseimbangan akses mengisi ruang publik (media massa) masih menjadi permasalahan, dimana sudah menjadi rahasia umum, media massa cenderung berpihak pada kepentingan penguasa dan pengusaha yang "menghidupinya" (baca: membuatnya dapat tetap hidup).
Di sinilah Jurnalisme Advokasi (JA) atau "Advocacy Journalism" (AJ) berperan untuk memberikan perspektif yang lebih lengkap sehingga terjadi diskusi publik untuk dapat memperoleh kebenaran sebagaimana teori normatif media (McQuail), untuk menjembatani suara penguasa dan pengusaha sebagai simbol kekuatan ekonomi dan politik dengan kepentingan masyarakat luas.Â
Sehingga "Advocacy Journalism" inipun saya yakini mampu meredam gesekan sosial yang mungkin terjadi karena tidak seimbangnya saluran aspiratif masyarakat luas, akibat ketidakpercayaan terhadap media massa yang dominan mengusung kepentingan ekonomi dan politik nya semata.
Di sisi lain peran media massa sebagai "watch dog" sekaligus pilar keempat demokrasi selain eksekutif, legislatif dan yudikatif, semakin bias manakala penguasaan media massa oleh para aktor politik yang dalam beberapa kasus merangkap juga sebagai pengusaha.Â
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana seorang wasit bisa menilai secara obyektif kalau dia juga pemain !? Sehingga dapat dikatakan Jurnalisme Advokasi juga dapat meredam kemungkinan rusaknya demokrasi karena menghidupkan kembali fungsi kontrol media massa terhadap proses demokrasi.
Oleh karena itu diperlukan bukan hanya pesan tentang perlunya ruang redaksi yang lebih steril dari kepentingan pemilik media massa, namun perlu adanya kebijakan yang lebih kongkrit tentang itu selain tindakan terukur dalam memberi insentif dan disentif bagi pelaku media massa.
Justru dengan mengembalikan fungsi media massa sebagai kontrol sosial dan pilar demokrasi akan nenjadikan media massa (cetak dan elektronik) kembali dipercaya publik dan mampu menjembatani aspirasi masyarakat sehingga meredam kemungkinan gesekan sosial karena kebuntuan saluran aspirasi.
Bersamaan dengan dipercayanya media massa, bisa menjadi semacam "clearing house" bagi masyarakat atas informasi yang diperoleh lewat sosial media. Dengan kata lain, jika ingin memberantas hoax, kembalikan lagi fungsi media massa sebagai kontrol sosial dan pilar demokrasi. Kembalikan lagi keberpihakkan media massa kepada kepentingan masyarakat yang perlu dibela !
Jurnalisme Advokasi untuk Pengarusutamaan Pembangunan Sanitasi Indonesia
Secara sistimatis Indonesia telah mulai melakukan upaya pembangunan sanitasi secara komprehensif sejak tahun 2006, lewat Tim Teknis Pembangunan Sanitasi (TTPS) yang melibatkan beberapa kementerian terkait yang dikoordinasi oleh kementerian PPN/Bappenas, dengan pesan kunci advokasi "sanitasi urusan kita bersama".Â