Isu mengenai seksualitas kerap kali masih menjadi kurang akrab di telinga publik. Namun, membicarakan isu seksualitas mau tidak mau, akan menjadi terus relevan dan tidak akan hilang dalam waktu dekat.
Seingat saya, pertama kali saya mengikuti dan mendengar tema seks secara serius saat mengambil mata kuliah psikologi klinis, psikologi sosial, dan beberapa mata kuliah lainnya.Â
Tema seks memang kerap kali muncul, terutama dalam kuliah terkait manusia. Yang lucunya, setiap kali berbicara soal seks, banyak yang malu, atau merasa cemas. Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi?
Menurut saya, hal itu disebabkan karena di masyarakat kita, seks adalah barang tabu untuk dibicarakan. Â Selain itu, hampir semua agama berbicara soal melarang atau membatasi seks. Hukumannya pun kejam, yakni api neraka bagi siapapun yang melanggar.Â
Perlu diakui, mutu pendidikan kita masih rendah, sehingga pikiran kritis dan rasional terkait seks dianggap berbahaya, maka orang pun patuh buta pada ajaran terbelakang semacam itu.
Padahal, kita semua lahir, karena orang tua kita berhubungan seks. Cinta bisa hadir, ataupun tidak. Namun, seks pasti hadir. Ini tidak dapat disangkal.
Nah, jika kita semua lahir dari seks, mengapa seks lalu ditabukan? Inilah kesalahan berpikir paling mendasar.
Ajaran-ajaran lama membungkam akal sehat dan pikiran kritis. Bahkan, sumber kehidupan pun ditakuti, dan bahkan dipenjara atas nama moralitas dangkal.
Seks adalah bagian dari kehidupan. Ia tidak jelek. Ia tidak perlu ditabukan. Kita hanya perlu untuk melihat seks sebagaimana adanya.
Pro-kontra isu LGBT di  NTT