Akibat dari lambannya merespons hal-hal semacam itu, kita akhirnya terperosok ke dalam "lingkaran setan" yang makin berdampak pada kerusakan sosial yang makin parah.
Kita tahu, lambannya merespons hal-hal semacam itu disebab karena adanya kalkulasi politik dari para pemangku kebijakan dan penegak hukum. Artinya, pemerintah bertindak bukan atas dasar perintah undang-undang, melainkan hitung-hitungan politik.
Dalam kebikan publik kita pun demikian. Banyak sekali kebijakan publik yang justru menghasilkan ketidakadilan. Sering kali, para pemangku kebijakan lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi daripada manusia itu sendiri. Penggusuran terhadap masyarakat adat Besipae di NTT dan Kanipan di Kalimantan adalah contohnya.
Â
Apakah hanya itu? Tidak. Sistem demokrasi yang sering diagungkan oleh pemerintah hanya berhenti pada demokrasi prosedural. Melaksanakan Pilkada di tengah pandemi adalah contoh paling faktual. Â
Banyak orang sudah mengajukan kritik pada masalah-masalah semacam itu, tapi seperti biasa, mereka justru diserang oleh para buzeer dan "relawan kekuasaan" yang berpikiran sempit serta fanatisk buta.
Hal-hal itu terlihat jelas pada beberapa hari lalu, ketika RUU Omnisbus Law disahkan oleh DPR. Banyak orang tahu bahwa RUU Omnibus Law itu disahkan lewat prosedur yang cacat hukum.Â
Akan tetapi, banyak orang kembali dibungkam oleh para relawan kekuasaan yang berpikiran sempit dan fanatisme buta. Mereka lalu menuduh orang-orang yang mengajukan kritik tersebut sebagai kampret, atau orang-orang yang ingin menggulingkan pemerintahan Jokowi dan sebagainya.
Tuduhan-tuduhan semacam itu juga berlaku sebaliknya. Saat kita mengkritisi orang-orang yang menggunakan agama untuk kepentingan politik, kita sering dituduh sebagai cebong yang suka menjilat. Padahal, kita tak masuk dalam kelompok mana pun. Yang kita tahu, jika salah, ya perlu dikoreksi atau dikritisi.
Melihat tuduhan-tuduhan dari kubu cebong-kampret, saya akhirnya berkesimpulan bahwa kubu cebong-kampret itu ibarat pinang dibelah dua.
Kedua kelompok itu, sepintas kelihatan berbeda dan berlawanan, tapi sesungguhnya sama saja. Mereka adalah orang-orang yang berpikiran sempit dan fanatik buta pada kelompok, agama, maupun tokoh tertentu.
Oleh karena itu, tak heran bila kedua kubu tersebut selalu termakan hoaks dari kubu pemerintah yang sering disebar oleh para buzzer, maupun kubu yang selalu menggunakan agama untuk kepentingan politik.
Sekali lagi, melihat kejadian demi kejadian serta narasi cebong dan kampret; saya akhirnya berkesimpulan bahwa kedua kubu tersebut sesungguhnya bukan lagi dua, melainkan satu.