Seseorang yang sudah jatuh pada fanatisme buta, akan selalu melihat manusia lain tidak sebagai manusia, melainkan sebagai sesuatu yang harus disingkirkan.Â
Tak heran, kubu cebong-kampret selalu mengucapkan kalimat-kalimat seperti: Tembak saja kelompok radikal, bunuh saja orang itu, dasar kafir, dasar komunis, dan lain sebagainya. Â
Orang-orang itu, meskipun mengaku beragama, mereka sesungguhnya sedang kehilangan sisi kemanusiaannya. Lantas, dari mana cara pandang semacam itu lahir?
Cara pandang semacam itu sebetulnya dibentuk oleh prasangka yang lahir dari dendam dan trauma atas kejadian negatif yang pernah terjadi sebelumnya. Misalnya, penutupan gereja, bom gereja, pembubaran organisasi HTI, dan lain sebagainya.
Karena telah dibayang-bayangi oleh prasangka dan dendam, mereka akhirnya tidak lagi melihat dunia secara jernih, melainkan secara hitam-putih. Bagi mereka, siapa pun yang berada di luar kelompoknya wajib dibasmi atau dimusnahkan.
Kesempitan berpikir dan fanatisme buta ini sering kali terjadi pada banyak hal. Dalam konteks Indonesia, yang paling menguat dan menonjol adalah fanatisme buta pada tokoh politik dan agama.
Sadar atapun tidak, fanatisme semacam itu telah menghambat dan membelah masyarakat Indonesia yang terkenal majemuk ini.
Kesempitan berpikir dan fanatisme buta itu kemudian seakan mendapatkan pembenaran ketika kesenjangan sosial, ekonomi, dan politik membuahkan begitu banyak masalah di tengah masyarakat.
Pembelahan masyarakat menjadi dua kubu seperti cebong-kampret menghasilkan banyak sekali kerusakan sosial yang sulit diperbaiki. Hal itu tentu berbahaya bagi bangsa Indonesia yang majemuk ini.Â
Sayangnya, banyak pihak justru mempertahankan hal tersebut untuk meraub keuntungan. Baik keuntungan berupa dukungan politik, materi, dan lain sebagainya.
Hal-hal itu bisa terlihat dari sejumlah kasus intoleransi dan kriminalisasi yang selama ini terjadi. Kasus-kasus intoleransi dan deskriminasi terkesan disepelekan. Tak heran, dalam proses penyelesaiannya selalu lamban.