I. TKIÂ
Empat tahun lalu, diiringi doa dan harap. Ia berangkat ke Malaysia. Hari ini, ia telah kembali. Di ujung pintu bandara, ia disambut orang-orang tersayang. Jasnya hitam. Wajahnya pucat. Tubuhnya kaku. Ia tertidur pulas bagai patung.
II. Mimpi
Siang tadi, kau bahagia tanpa sebab. Tertawa tanpa henti.
Malam ini, seseorang datang menyapamu lewat mimpi. Kau lihat wajahnya; murung. Kau seperti mengenalnya.
Pagi hari, kau terbangun, mengais  mimpi yang samar-samar. HP berdering. Ayah menelpon dari kampung. Semalam, adikmu mati kecelakaan. Kepalanya pecah dilindas tronton.
III. Anak yang tak kunjung pulang
Sejak pagi tadi, perempuan itu sangat bahagia. Â Hari ini, anak laki-lakinya akan pulang. Tapi hingga tengah malam, anaknya tak kunjung tiba. Ia mulai terkantuk-kantuk dan bosan.
Mendadak seseorang mengetok pintu. Ia tergeragap dan bangkit. Tapi ia tak mendapati anaknya, kecuali berita duka; Anak laki-laki yang paling ia cintai, yang hari ini akan pulang ke rumah, sedang tertidur pulas di kamar mayat.
IV. Anjing mengaung
Kau terbangun tengah malam, mendengar sekumpulan anjing mengaung tanpa henti. Kau bertanya dalam hati, "Ada apa gerangan?"
Pagi harinya, seseorang datang mengabarimu: Semalam, Om Tinus, tetangga sebelah dirumahmu mati gantung diri.
V. Gantung diri
Sepanjang hari, Joni duduk bersarung sepi. Di teras rumahnya, ia suka menghabiskan waktu.
Wajahnya murung, senyumannya redup, pudar dikunyah kenangan. Ia seakan tak lagi bergairah untuk hidup, sejak diputuskan oleh kekasihnya.
Tadi pagi, masih kulihat ia duduk bersarung sepi; tatapannya kosong, melanglang lepas melewati deretan bunga dihalaman, beberapa batang ubi kayu, pucuk daun sirsak, membubung di atap rumah tetangga, lalu jatuh ke ufuk senja tak bertepi.
Sungguh, kasihan nasipnya. Semalam, ia ditemukan menjulurkan lidah, matanya melotot, tubuhnya kaku. Ia tergantung bagai buah alpukat.
VI. Pergi untuk Selamanya
Sore itu Simon akan datang melamarnya, tapi hingga pukul empat sore, Simon tak kunjung datang.
Keluarga besarnya mulai bertanya-tanya. Ia mulai gelisah. Perasaanya tak enak. Detak jantungnya terasa berdegup lebih cepat. Cepat sekali. Ia merasakan seperti ada sesuatu yang berbeda dari biasanya.
Sore itu, ia kenakan kain sarung dan baju merah tua peninggalan Ibunya. Ia tampak lebih manis dari biasanya.
Tapi, tapi kenapa detak jantungnya semakin keras, sampai telapak tangannya pun ikut berkeringat.
Beberapa kali ia usapkan tangannya pada kain sarung yang membalut tubuhnya. Ia tak tahu kenapa detaknya semakin keras. Kenapa semua terasa begitu sepi? Kenapa? Ia bertanya dalam hati.
Ia hanya terdiam sambil bertanya pada hatinya. "Apakah janji yang pernah diucapkan Simon akan tertunai hari ini?" Entahlah. Ia hanya menunduk sambil memainkan ujung sarungnya. Matanya sayu. Telinganya dipenuhi detak memaksa. Suara perbincangan keluarga besarnya tak lagi ia hiraukan.
Tiba-tiba, tiba-tiba kerumunan orang mendekati rumahnya. Mendekati dari arah jalan setapak itu. Ia hanya menoleh sambil bertanya dalam hati, "Apa yang terjadi?"
Detak jantungnya semakin keras. Entah berapa kali ia usapkan tangannya yang basah. Ujung sarung itu pun mulai lusu. Baju yang ia kenakan pun semakin kusut.
Apa yang didengarnya, apa yang disaksikannya membuat semuanya terasa gelap. Gelap gulita. Ia tergolek lemah dipangkuan ayahnya.
Simon, kekasih yang paling ia cintai, yang sore ini akan datang melamarnya, akhirnya pergi untuk selamanya.
Tegsar 62, Â Oktober 2020.
Honing Alvianto Bana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H