Tapi, tapi kenapa detak jantungnya semakin keras, sampai telapak tangannya pun ikut berkeringat.
Beberapa kali ia usapkan tangannya pada kain sarung yang membalut tubuhnya. Ia tak tahu kenapa detaknya semakin keras. Kenapa semua terasa begitu sepi? Kenapa? Ia bertanya dalam hati.
Ia hanya terdiam sambil bertanya pada hatinya. "Apakah janji yang pernah diucapkan Simon akan tertunai hari ini?" Entahlah. Ia hanya menunduk sambil memainkan ujung sarungnya. Matanya sayu. Telinganya dipenuhi detak memaksa. Suara perbincangan keluarga besarnya tak lagi ia hiraukan.
Tiba-tiba, tiba-tiba kerumunan orang mendekati rumahnya. Mendekati dari arah jalan setapak itu. Ia hanya menoleh sambil bertanya dalam hati, "Apa yang terjadi?"
Detak jantungnya semakin keras. Entah berapa kali ia usapkan tangannya yang basah. Ujung sarung itu pun mulai lusu. Baju yang ia kenakan pun semakin kusut.
Apa yang didengarnya, apa yang disaksikannya membuat semuanya terasa gelap. Gelap gulita. Ia tergolek lemah dipangkuan ayahnya.
Simon, kekasih yang paling ia cintai, yang sore ini akan datang melamarnya, akhirnya pergi untuk selamanya.
Tegsar 62, Â Oktober 2020.
Honing Alvianto Bana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H