"Sudah, jangan bicara kutukan lagi!" Balas warga lainnya.
"Mana kakek Amle'ut, dalam keadaan begini dia justru tidak muncul!"
"Ayo, siapa yang waktu itu mengusulkan untuk menebang pohon dan membuang bekas bungkusan sabun disungai kita? Sekarang harus bertanggung jawab!"
Suasana rapat berangsur ramai. Bahkan ada beberapa orang yang berdiri dari kursinya. Sebagian orang saling menunjuk. Pemimpin rapat coba melerai mereka.
"Tenang. Tenang. Itu adalah keputusan bersama. Mata air  akan tetap menjadi mata air apapun kondisinya. Sekarang kita hanya perlu merawat pohon-pohon yang masih tersisa, dan membersihkan bungkusan sabun disekitar mata air, itu tanggung jawab kita. Dan satu hal, sebaiknya jangan ceritakan pada keturunan kita, bahwa dulunya mata air dan sungai itu pernah jernih. Setuju?"
Warga berpandangan, tak tahu harus setuju atau tidak. Namun begitulah akhir dari rapat kedua yang tampak tak begitu memuaskan. Orang-orang pulang dengan perasaan beragam. Sementara itu, sungai yang bersumber dari mata air yang kian menyusut itu tetap mengalir. Meski tak sejernih dan tak sebesar dulunya, sungai itu tak hendak mengutuk siapa pun.
Ia membiarkan segala kenangan indah disepanjang  sungai itu muncul dan hilang bersama alirannya yang kian mengecil, entah sampai kapan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H