"Ini tidak masuk akal, pembunuhan oleh kuntilanak itu jelas sebuah omong kosong. Mana ada perempuan yang sudah meninggal, bisa membunuh manusia? Ini tidak sesuai dengan kepercayaan agama," kata pak pendeta.
"Apa kau yakin kuntilanak itu pembunuhnya?," tanya pak camat.
"Kan kakek Amle'ut pernah bilang begitu," sambung seorang pemuda kampung bernama Noger.
"Kakek Amle'ut hanya bilang orang-orang yang mati itu karena jiwa-nya diangkat kelangit, tapi tidak bisa  memastikan kalau kuntilanak itu yang membantai orang-orang itu," Seorang Polisi menimpali.
Mendengar kata "dibantai", beberapa peserta rapat tampak terkejut dan berbisik satu sama lain.
"Jadi, mari kita langsung cari solusi saja. Pokoknya kita tidak bisa diam, kita harus melawan. Masing-masing silakan menawarkan ide."
Perundingan semakin alot, satu per satu usul bermunculan, ibu-ibu sibuk menyiapkan kopi dan pisang goreng bagi peserta rapat sambil sesekali mendengar.
***
Malam sudah tiba, bintang-bintang adalah lampion waktu, cahaya purnama seperti memercik pada daun-daun pepohonan yang gemetar, seperti seremonial alam yang paling murni dan sabar.
Rapat telah selesai setengah jam lalu, warga sudah bubar dan kembali ke rumah masing-masing, ada yang melanjutkan perbincangan didepan rumah -- ada juga yang melanjutkan perbincang dibeberapa gang kecil.
Hasil perundingan itu menghasilkan keputusan yang kelak akan menjadi titik balik sejarah mata air Oenasi.