Saya takut sekali. Saya menutup telinga. Seekor tikus menyelinap masuk ke dalam selimut saya dan ikut bersembunyi di sana.
"Tidak ada suara apa-apa, Enos. Ibu tidak mendengar suara apa-apa. Kau diganggu Nenek susu panjang itu. Nenek susu panjang akan menyelinap dan mengganggu anak-anak yang nakal."
Ibu tak mendengar suara itu. Tak ada yang mendengar suara itu, kecuali saya sendiri. Biasanya, agar tidak teringat pada suara-suara itu lagi, saya selalu meninggalkan ibu dan berlari keluar menuju rumah Tinus.
***
"Ssst, diam!" Tinus memberi aba-aba dengan jari telunjuk di depan mulutnya. Ia lalu melihat kearah pepohonan.Â
" Tolong pegang ini!" Tinus menyeka keringat dengan lengan kirinya. Ia lalu mengambil dua buah batu sebesar bola pimpong. Ia seperti tak mendengar apa yang saya katakan tentang Nenek susu panjang. Ia kemudian melempar burung-burung pipit dibalik ranting-ranting pohon kaliender.Â
Tampak awan bergerak pelan seperti kapas. Seekor elang berputar-putar dan sesekali melengking. "Kolam di sana tak begitu dalam. Kemarin hanya setinggi lutut, tapi sudah saya halangi aliran sungai itu dengan batu-batu yang saya ambil ditepi sungai. Sekarang sudah mencapai dada" Saya berjalan mengikuti Tinus dari belakang. Ia meninggalkan jejak kakinya yang kurus. Tinus tidak memakai sepatu. Ia memang telah melepas dan menggantungkan sepatu dilehernya-sejak kami mulai menyusuri sungai.
"Kalau Nenek susu panjang ada, kenapa ia tak menangkap saya?" Tinus menyergah ingusnya.
"Mungkin kau belum pernah bertemu dengannya, Tinus."
"Tidak. Saya sudah berulang kali mandi disana. Tidak ada apa-apa, Enos."
Saat mendekati kolam, tiba-tiba Tinus meminta saya untuk berhenti. "Diam!", Tinus menyuruh saya melihat kearah semak-semak. "Seperti ada orang dibalik pohon-pohon itu," bisik Tinus. Saya ketakutan. Napas saya tertahan di tenggorokan. Tiba-tiba Tinus tertawa dengan sangat puas.Â