Saya dan teman-teman memang suka bermain dan berenang di sungai. Saya belajar berenang dari Tinus. Dia pandai sekali berenang. Di kampung saya, kalau kau belum bisa berenang, kau tak ada harga diri. Kau akan di ejek seperti Alfret -bencong yang punya banyak teman perempuan itu . Â Tinus juga yang mengajari saya cara menyelam didasar kolam. Tak jarang kami bertanding siapa yang bisa menahan napas paling lama. Tapi itu kami lakukan diam-diam.
Suatu hari, ketika pulang sekolah, kami mandi hingga sore hari. Ibu cemas ketika saya belum juga pulang. Saat kembali, saya dipukul dengan ranting lambtoro. Rasanya sakit sekali. Pantat dan kaki saya seperti sedang ditato sarang laba-laba.Â
Sejak saat itu, ibu lalu bercerita, di sungai itu ada penunggu-nya, Nenek susu panjang[1]namanya. Ia suka menangkap anak-anak. Matanya merah. Kukunya panjang. Susu-nya tergantung seperti buah alpukat. Rambutnya mirip rambutnya tanta Takaeb. Ia tinggal di gua peninggalan Belanda didekat sungai. Sepuluh tahun yang lalu, ada seorang anak laki-laki hilang. Lima hari kemudian mayatnya yang pucat dan kembung mengapung seperti batang pisang di kolam itu.
"Kau tahu Nenek susu panjang, Tinus?"
Tinus menggeleng dan terus berjalan. Kuku-nya panjang. Mata-nya merah. Mirip mata-nya Om Uskono yang suka minum sopi[2]itu. "Kata ibu saya, ia tinggal di gua disekitar jembatan itu." Saya menyuruhnya melihat ke arah gua didekat jembatan. "Kadang-kadang ia turun ke sungai. Ketika ia bertemu dengan anak-anak, ia akan menangkap dan membenamkan tubuh kita ke dalam kolam. Waktu napas sudah habis, baru tubuh kita dilepas."
Tinus melihat ke arah gua, "Tapi saya sering menangkap kelelawar  bersama Yapi Taklale di gua itu. Tidak ada Nenek susu panjang disana." Ia mengelap ingusnya. Bulir-bulir keringat keluar di tengkuknya.
Dari kejauhan tampak pohon-pohon yang rimbun seperti rambut Nenek Bet. Ibu bilang, di pohon-pohon itulah para suanggi[3] itu tinggal. Mereka menyatu dengan pohon-pohon tua yang besar. Para suanggi itu kemudian menguasai setiap jengkal sungai yang mengalir. Mereka bersembunyi di balik air yang tenang. Tangan-tangannya menjulur panjang seperti selendang raksasa.
***
Semalam hujan turun deras sekali. Berbantalkan lengan, saya berbaring di kamar sambil memperhatikan tetes air hujan jatuh melalui atap rumah yang bocor. Saya telah menaruh ember bekas dan mendengar bunyi air jatuh seperti suara detak jarum jam.Â
Ketika dingin mulai mencucuk tulang, saya menarik selimut. Dan saya mulai bermimpi lagi tentang Nenek susu panjang. Dalam mimpi, Nenek susu panjang itu tidak memakai baju. Puting susu-nya hampir menyentuh pinggang. Â Rambutnya kelihatan putih. Ia berdiri didekat jendela kamar saya. Ia memanggil saya dengan begitu lembut. "ayo kesini...." Saya tidur dengan tubuh bergetar. Saya menutup mata dengan kedua tangan sambil menangis. Sesekali saya mengucapkan doa "bapa kami", doa yang sering diajarkan oleh Kakak Mia-guru sekolah minggu saya.
Bludoor..bludoor. Bunyi guntur tiba-tiba membuat saya terjaga. Saya tidak dapat melihat apa-apa. Semuanya gelap seperti arang. Saya masih mendengar suara hujan yang mulai sedikit reda. Lalu di sela-sela itu, telinga saya menangkap suara yang aneh lagi. Saya mendengar suara orang melangkah. Sesekali menghilang, lalu muncul lagi.