Aku menyembah kepada semua diatas tanahku,
Kepada uis neno, kepada uis pah, dan kepada leluhurku.
Aku meminta izin kepada semua usif-usif diatas tanahku,
Maka izinkanlah aku sedikit mengungkapkan perasaanku untukmu, manisku:
Aku adalah kesadaran-kesadaran tak bersilsilah, yang melayang diatas rahim-rahim tempat kau berteduh.
Aku adalah kahyalan-khayalan penunggang kuda sepi, yang melilhami penenun-penenun dari hatimu yang sunyi.
Akulah yang pertama membalut tubuh mungilmu, dengan selimut-selimut lusuh tak tersentuh makna.
Akulah pelangi yang terbit dari matamu, setelah tetesan-tetesan embun membasahi pipimu yang jingga.
Aku adalah kabut-kabut kapas yang memelukmu dengan mesra, disaat musim-musim terlampau berat bagimu.
Aku adalah mantra dibibir-bibir pasar, tempat perempuan-perempuan berambut jagung menaruh harap.
Akulah  yang meredam sedihmu, saat menatap mayat-mayat kaku dibandara hatimu.
Akulah yang berbisik mesra ditelingamu, perihal busung lapar akan selalu mesra dengan kerusakan hutan-hutanmu.
Aku adalah mata semesta yang masih terjaga, sejak dermaga diujung selatan mulai mengintai tulang-tulangmu.
Aku adalah hening di pundak-pundak mutis, yang meski sehelai daun jatuh pun tak bisa mengusik keheninganku.
Aku adalah sesuatu, manisku.
Yang hanya bisa kau kenali dari tempat paling bersejarah dihatimu.
Iya, karna hanya disitu semua tentangku tertulis dengan jujur.
Timor, Juni 2019
Honing Alvianto Bana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H