Mohon tunggu...
Leo Naldi
Leo Naldi Mohon Tunggu... Buruh - Buruh di perusahaan swasta.

Daripada kata-kata itu hanya diam di sudut otak saya, maka lebih baik saya keluarkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Manifesto 18 September

25 Juni 2024   10:28 Diperbarui: 25 Juni 2024   10:48 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di satu sore yang murung, yang senjanya berwarna merah,

bukan oranye. Seorang bapak tua sedang duduk di beranda

sambil membaca warta berita. Saking serunya membaca

warta, huruf-hurufnya ngos-ngosan kelelahan. Dia sedang seru

membacakan berita-berita hari ini.

Bapak tua itu tinggal di tengah hutan. Hutan yang kaya, flora

fauna bermacaman. Duit tak ada harganya di sana. Butuh apa,

mau apa, cari apa, semua tersedia. Namun sayang, sebab begitu kaya,

hutannya didatangi modal-modal dari luar pulau. Hidupnya sudah tidak

tenteram seperti saat modal-modal itu belum berdatangan.

Mereka datang sepaket dengan serdadu yang berwajah garang.

Bapak tua bingung, "Kalau niat baik, kenapa harus datang dengan

seperangkat alat perang?"

Hobinya memang membaca, terutama setelah datangnya

modal-modal dari luar pulau. Tiap hari selalu membaca warta,

"Ada berita apa hari ini?" pikirnya tiap melihat warta yang selalu

dikirim burung cendrawasih pada waktu pagi.

Di sana berita perampasan lahan, di sana lagi tembak-tembakan

sampai renggut nyawa, di mana lagi berita kurang gizi, di mana

lagi pembabatan hutan. "Setelah kedatangan modal-modal itu,

kenapa di tanah ini beritanya selalu berita duka? Apa tanah

ini tak berhak bahagia?" tanyanya dalam hati. Bapak tua khawatir,

ia takut tempat tinggalnya akan dirampas, tanah ulayat yang

sudah dijaga selama ribuan tahun secara turun temurun

diambil paksa oleh kekuatan kapital.

"Mau makan apa saya? Mau tinggal di mana? Di sini semuanya ada,

saya tidak akan bisa hidup kalau tidak di sini. Ini tanah air saya, tanah nenek

moyang, saya mau tetap di sini sampai Tuhan datang." renung

bapak tua dalam sekali. Air matanya hampir jatuh, air mata

yang warnanya emas. Konon katanya, air mata emasnya disebabkan

karena tanah tempat si bapak tua tinggal penuh sekali dengan emas,

air yang ia minum dari tanah itu mengandung emas, maka dari itu air

matanya jadi berwarna emas.

Suatu waktu, bapak tua heran, kenapa hari itu tidak ada warta

yang tergeletak di beranda rumahnya. Burung cendrawasih

yang biasa kirim warta waktu pagi entah ke mana, "Mungkin

sedang cuti, sedang mudik ke kampung." pikir bapak tua.

Berhari-hari, berminggu-minggu, ditunggunya burung

cendrawasih itu, namun tak kunjung nampak si pembawa warta

tersebut. Untuk memutus rasa penasaran, bergegas ia menuju

agen warta berita yang berada di distrik sebelah. Berjalan

kaki ia melewati pohon-pohon besar dan sungai-sungai

yang arusnya tenang, sungguh indah tempat ia tinggal.

Sesampainya ia di distrik sebelah, ia sungguh kaget, distrik itu

sudah porak poranda, penghuninya kabur masuk ke hutan

belantara, takut dikejar-kejar oleh serdadu berwajah garang.

Semakin terkejutnya ia ketika melihat agen warta berita yang

selalu mengiriminya warta sudah hangus oleh api, agen itu nampak

diamuk api sampai jadi abu. Hancur hatinya, remuk

redam, sedu sedan. Terduduk ia di depan agen warta berita,

"Sebab ini burung itu tidak pernah lagi berkunjung ke rumahku,

ia kehilangan tempatnya, bahkan mungkin ia sudah

mati sekarang. Di mana engkau wahai burung berbulu cantik?" katanya

dalam hati dengan penuh renungan. Berdiri dan berjalan lagi ia

mengelilingi distrik yang porak poranda itu, dilihatnya banyak

nyawa-nyawa tak berdosa tewas, perempuan muda, ibu-ibu, anak-anak.

Tewas mengenaskan. "Sekarang aku tahu, kenapa akhir-akhir ini

senja di tanahku sinarnya berwarna merah. Senja di tanah ini telah terciprat

darah dari nyawa-nyawa tak berdosa, alam mengisyaratkan

murung dan kelam." pikirnya sambil termenung.

Setelah lelah hati dengan apa yang ia lihat, bapak tua memutuskan

untuk kembali pulang ke rumahnya. Berjalan ia ke rumah dengan

hati yang berduka. Saudara-saudaranya pergi dengan merana,

tak sempat anak-anak kecil itu merasakan nikmatnya hidup di tanah

surga. Ia kembali berjalan melewati sunga-sungai dan pohon-pohon besar,

pemandangannya yang indah tidak dapat menghibur hatinya yang nelangsa.

Tanah seindah itu akan terus terasa penuh luka dan air mata ketika kebebasan

untuk hidup masih dibelenggu. Kebebasan adalah keindahan yang sejati, ia

membawa keindahan bagi yang merasakannya, bagi yang mendambakannya.

Sampai juga akhirnya ia di rumah, hal pertama yang ia lakukan ketika

sampai adalah membersihkan badan yang penuh debu dan luka, perih rasanya

luka-luka itu ketika terkena guyuran air. Sambil terus mengguyur lukanya

ia berseru dengan lantang, "Pada hari ini secara tegas, kami masyarakat

adat Papua menolak deforestasi yang merusak tanah, hutan,

dan air kami masyarakat adat Papua. Karena di situ tempat kami hidup,

kami makan, bahkan generasi kami turun temurun sampai Tuhan datang."

Leo Naldi

Jakarta 13 Juni 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun