Mohon tunggu...
Holy Ichda Wahyuni
Holy Ichda Wahyuni Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FKIP UM Surabaya

Menulis adalah bekerja untuk keabadian (Pramoedya A. Toer)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Anak: Jangan Lagi Menyepelekan Kekerasan Berdalih Gurauan

16 Juni 2022   14:04 Diperbarui: 16 Juni 2022   14:07 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perundungan. Sumber: pixabay.com

Kejadian tragis akibat perundungan terulang kembali. Seorang pelajar SMP di Sulawesi Utara, meninggal dunia setelah diduga menjadi korban perundungan (bullying) oleh teman sekolahnya. Bahkan kejadian ini terjadi di sekolah. Pelajar ini meninggal setelah mengalami kekerasan oleh 9 temannya, korban dipukuli dengan kondisi terikat.

Sebenarnya kejadian ini bukanlah kali pertama terjadi. Kasus serupa sudah seringkali terjadi namun seolah-olah seperti virus yang tak kunjung sembuh, justru semakin menjadi-jadi dan menjamur di kalangan anak dan remaja yang ketegorinya di bawah umur. 

Lantas bagaimana mereka mampu mempertanggungjawabkannya. Kemudian, yang paling penting apa yang kemudian harus kita upayakan dalam tindakan preventif.

Pertanggungjawaban di mata hukum, bukanlah ranah saya. Namun sependek pengetahuan saya, ketentuan-ketentuan terhadap hukuman tindak kriminal anak di bawah umur yang memuat  penjatuhan sanksi pidana terhadap anak salah satunya telah tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012. 

Regulasi ini memuat diantaranya; pembatasan umur anak, penjatuhan sanksi dan hak-hak anak, sedangkan penerapan sanksi yang digunakan berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan. 

Sementara itu, tempat penerapan sanksi yang akan ditempati pelaku di bawah umur, adalah sebuah lembaga pendidikan khsusus anak, dengan pemberian pembinaan di dalamnya.

Pertanggungjawaban yang cenderung ringan untuk pelaku di bawah umur menjadi salah satu faktor terbuka lebarnya perilaku-perilaku kriminal anak. 

Namun sebelum berbicara ranah hukum, sebetulnya hal yang lebih harus disoroti adalah lingkungan tempat anak bertumbuh, gaya parenting yang diterima anak beserta segala behavior yang mengakar dalam diri si anak.

Berawal dari Pemakluman "Hanya Anak-Anak"

Mencintai tidak selamanya harus mengiyakan semua kehendak anak, mencintai anak tidak selalu dengan membelanya di setiap waktu. Mencintai anak tidak arif rasanya jika dengan membenarkan setiap perbuatannya. 

Kalimat "ah! hanya anak-anak" hanyalah sebuah kalimat dari orang yang malas mendidik. Ini menjadi salah kaprah, justru selagi masih anak-anak, masih dalam masa golden age, pendidikan karakter itu harus ditanamkan dalam-dalam.

Anak harus sudah mulai diberi pemahaman batasan-batasan mana yang tidak boleh dia lakukan. Mana perbuatannya yang benar, dan mana perbuatannya yang salah. Kapan dia harus meminta maaf, berterima kasih, dan mengucapkan tolong. Hal-hal kecil yang dianggap sepele ternyata membawa pengaruh luar biasa dalam kepribadian seorang anak.

Bayangkan saja, jika tingkah laku anak yang merugikan orang lain, missal merusak barang tetangga atau kerabat, memukul teman bermainnya, kemudian diberi pemakluman "hanya anak-anak."

 Hal ini akan menumbuhkan behaviour anak memvalidasi bahwa tindakannya adalah benar, atau bukan menjadi sebuah masalah berarti bagi orang lain di sekitarnya.  

Pentingnya Sounding Karakter Empati dan Mengasihi

Sounding merupakan sebuah aktivitas memberikan bisikan berupa kata -- kata positif secara berulang dan biasanya bisa dilakukan di alam bawah sadar seseorang yang bertujuan untuk memberikan afirmasi. 

Sounding masih dianggap cara efektif yang dapat dilakukan oleh orangtua demi perkembangan anak dan dapat memberikan efek positif pada kepribadian si anak.

Melalui aktivitas sounding ini, harapannya orang tua dapat memberikan afirmasi karakter empati dan saling mengasihi kepada anak. Hal ini bisa dilakukan menjelang tidur, dengan pembacaan dongeng yang memuat pendidikan karakter, atau ungkapan-ungkapan positif lainnya yang menegaskan pentingnya saling menyayangi, memiliki rasa empati terhadap sesama.

Kekerasan Tidak Sama dengan Gurauan

Selain pemakluman, hal yang seringkali menjadikan rantai kekerasan terus bergulir adalah menyamakan kekerasan seolah sebuah gurauan. Padahal kekerasan tidak sama dengan gurauan. 

Ini penting untuk disadari oleh semua pihak. Baik lingkungan keluarga, maupun lingkungan sekolah yang intens membersamai tumbuh kembang seorang anak.

Jika kita menyaksikan gurauan-gurauan yang dilakukan dengan memukul, menendang, mendorong, mengolok-olok, atau tindak kekerasan lainnya baik verbal maupun non verbal, harus segera mencegahnya dengan tegas. 

Tidak menunggu orang lain melakukan pencegahan, karena jika semua orang beranggapan bahwa akan ada orang lain yang mencegahnya yang ada adalah kata terlambat, kondisi ini akan bisa memicu dampak fatal.

Sudah saatnya rasa empati dipupuk oleh semua pihak. Dimulai dari diri kita, para orang tua, para guru, para teman, para petugas kebersihan, para petugas keamanan, penjaga warung atau kantin, tetangga, dan semua orang tanpa terkecuali, yang ingin agar tidak ada kasus-kasus tragis yang berawal dari perundungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun