Manusia adalah makhluk yang unik. Setiap individu yang terlahir memiliki fisik, tingkah laku, dan pola pikir yang berbeda-beda. Karena keistimewaannya ini, kita tidak bisa membuat semua hal general, terutama dalam memperlakukan individu.Â
Seperti gaya belajar, setiap individu memiliki cara tersendiri untuk menyerap informasi yang didapatkan. Kita tidak bisa memaksakan metode balajar yang kita pakai untuk orang lain. Memaksakan hal seperti itu hanya membuat individu merasa terbebani bahkan bisa saja menghakimi dirinya bodoh.
Cukup banyak kasus yang ditemui dalam dunia pendidikan kita. Para siswa menghakimi diri mereka bodoh karena tidak mampu menguasai pelajaran eksak. Padahal jika kita selisik lebih dalam, mungkin masalahnya bukan pada kemampuan otak dari siswa tersebut. Bisa jadi potensi siswa bukan pada kecerdasan eksak atau mungkin hal penting yang sering terlewatkan oleh kita sebagai orang tua/pendidik---mereka belum menemukan gaya belajar yang tepat.
Berbicara tentang gaya belajar, dari jurnal yang saya baca, menurut DePorter dan Hernacki (1992), gaya belajar adalah kombinasi dari cara seseorang menyerap, dan kemudian mengatur serta mengolah informasi. Artinya, proses belajar diawali dengan menyerap, mengatur, lalu mengolah informasi yang didapatkan.Â
Masih menurut DePorter dan Hernacki, cara manusia menyerap suatu informasi dibagi ke dalam tiga tipe dominasi; visual, auditori, dan kinestetis. Walaupun dalam kenyataannya kita bisa mengombinasikan ketiga tipe tersebut, secara umum setiap individu memiliki kecenderungan untuk menggunakan salah satu tipe.
Masing-masing tipe akan saya jabarkan sebagai berikut:Â
1. Tipe visual
Individu dalam tipe ini menggunakan visual (indra penglihatan) untuk menyerap informasi. Biasanya orang-orang visual lebih mudah mengingat informasi berdasarkan hal-hal yang mereka amati.Â
Wajar jika orang-orang dengan kemamapuan visual senang memperhatikan diri, kerapian, tata letak, dan hal-hal yang berwarna. Mereka juga cenderung suka membaca dan tidak terganggu dengan keributan.
2. Tipe auditoriÂ
Berbeda dengan tipe visual, tipe auditori lebih banyak menggunakan kemampuan indra pendengaran. Individu auditori lebih mudah mengingat kata-kata yang diucapkan pemberi informasi.Â
Selain itu, individu auditori biasanya peka terhadap nada dan birama. Kemampuan bicara yang dimiliki juga cukup baik. Hanya, individu auditori akan kesulitan berkonsentrasi jika berada dalam lingkungan yang ramai dan ribut.
3. Tipe Kinestetis
Seperti namanya, pemilik kemampuan kinestetis lebih mudah untuk menyerap informasi melalui kegiatan fisik/praktik langsung. Kecenderungan tipe kinestetis tidak bisa diam dan senang mengeksplorasi topik yang menarik perhatian mereka. Jangan heran jika individu kinestetis unggul dalam kegiatan seperti, menari atau olahraga.
Saya pribadi sudah "menyadari" gaya belajar saya sejak duduk di bangku SMA. Jika saya mempresentasekan kemapuan saya, saya akan menulis; 36% auditori, 34% visual, dan 30% kinestetis. Saya memang lebih mudah mengingat kata-kata, nada, dan birama. Saya bisa mengingat kata-kata yang diucapkan teman saya seminggu yang lalu dibandingkan chat WhatsApp yang mungkin baru kemarin dikirim kepada saya.Â
Saya juga tidak kesulitan menghafal nada dan beat lagu yang baru saya dengar sekali atau dua kali putar. Sejak saat itu, saya bisa mencari strategi tersendiri untuk menyerap materi apa pun, termasuk mengombinasikan ketiga kemampuan lain untuk mendukung saya belajar.
Jika dihubungkan dengan hobi saya saat ini---menulis---gaya belajar cukup sangat berpengaruh pada kemampuan menulis saya. Dari pengalaman yang saya rasakan, gaya belajar ini mempengaruhi saya dalam beberapa aspek kepenulisan.
"Cara manusia menyerap suatu informasi dibagi ke dalam tiga tipe dominasi; visual, auditori, dan kinestetis." DePorter dan Hernacki
Menemukan Ide
Sebagai individu auditori, kebanyakan ide saya didapat dari mendengar lagu atau hasil diskusi dengan kawan tentang topik tertentu. Ide-ide tersebut biasanya saya buat dalam bentuk poin lalu setelah itu saya coba olah saat menulis.
Untuk kalian yang memiliki tipe visual, coba untuk memberi tanda dari bahan yang kalian baca. Bisa dalam bentuk warna yang berbeda, atau dibentuk dalam mind mapping yang menarik. Manjakanlah visual kalian! Setelah itu, ide-ide yang terkumpul salurkan dalam bentuk karya tulis.
Begitu juga dengan dengan individu kinetis. Saat mencari ide kalian bisa coba sambil berjalan, memainkan sesuatu di tangan ataupun duduk di kafe sambil menikmati secangkir teh dan tiramisu. Lakukan apa pun yang bisa membuat kalian nyaman dan segera praktikkan ide-ide di otak kalian dalam bentuk tulisan.
Menciptakan Gaya Penuturan dan Memilih Genre Tulisan
Tanpa kita sadari, sebenarnya tipe gaya belajar ini cukup berpengaruh dalam membentuk gaya bertutur seseorang. Orang-orang dengan tipe visual cendurung membuat kalimat secara tertata. Mungkin tulisan yang kita baca akan sedikit kaku, tetapi inti yang ditulis mudah dipahami dan efektif. Individu visual biasanya cocok untuk menulis genre nonfiksi, seperti artikel atau opini yang membutuhkan ketajaman berpikir dan pengamatan mendalam.
Di sisi lain, individu auditori dapat menyusun kalimat lebih fleksibel. Individu auditori cenderung memasukkan unsur perasaan ke dalam tulisannya karena terbiasa "mendengarkan" orang lain sebagai sumber inspirasi. Menulis fiksi akan memudahkan individu auditori dan karena itulah saya lebih nyaman menulis dan mempelajari fiksi.
Untuk individu kinestatis, biasanya adalah gabungan dari dua tipe lain. Gaya belajar yang lebih "bebas" membuat individu kinestatis bisa bertindak seperti bunglon selama nyaman dan antusias dengan hal yang dipelajari.
Namun, kecenderungan tersebut bukan berarti membuaat kreativitas individu terbatas. Gaya penuturan dan genre tulisan bisa dilatih jika kita berusaha untuk belajar.Â
Tetap gunakan tipe belajar dominan kalian, tetapi cobalah untuk mengombinasikan dengan tipe gaya belajar yang lain. Seperti yang saya lakukan, saya menulis genre nonfiksi dan kalian sedang membaca proses belajar saya saat ini.
Setelah kita tahu cara menyerap informasi melalui tipe gaya belajar, maka proses selanjutnya adalah mengatur dan mengolah informasi. Lalu, bagaimana proses kita mengatur dan mengolah informasi yang kita pelajari untuk mengembangkan kemampuan menulis?
Pertama, memilih ide. Dari kumpulan ide yang telah kita dapatkan, coba pilih ide-ide yang memiliki benang merah. Paling mudah adalah mengumpulkan dalam bentuk poin-poin. Gunanya, agar kita dapat menulis secara terstruktur. Ide -ide lain yang belum terpakai sebaiknya disimpan. Kita dapat menggunakannya untuk topik lain.
Kedua, menulis hal yang membuat kita nyaman. Kumpulan poin-poin penting yang telah kita satukan, kemudian kita jabarkan menjadi sebuah tulisan. Buatlah tulisan yang nyaman untuk kita buat. Fokuskan untuk menyampaikan ide yang dapat dipahami oleh pembaca.
Ketiga, meminta pendapat orang lain. Untuk mengetahui perkembangan tulisan kita, tentu saja kita butuh orang lain sebagai pengevaluasi. Carilah kawan yang dapat menilai secara objektif. Jadikan setiap kritik dan saran sebagai modal untuk menjadi individu yang lebih baik. Saya pernah mendengar kata-kata bijak. "Jangan lihat siapa yang berbicara, tetapi dengar apa yang dia bicarakan." Prinsip itulah yang selalu saya terapkan dalam evaluasi tulisan saya.
Keempat, membuat daftar kekurangan dan kelebihan tulisan. Setelah menampung saran-saran yang kita dapatkan, langkah selanjutnya adalah membuat poin-poin kekurangan  dan kelebihan dari tulisan kita.Â
Kelebihan yang kita miliki dapat digunakan sebagai "senjata" untuk mencari dan mengembangkan ciri khas sebagai penulis, sedangkan kekurangan dapat kita gunakan sebagai evalusi untuk meningkatkan karya tulis kita. Setiap menulis coret kekurangan yang berhasil kita perbaiki pada karya baru. Dari hal tersebut, kita akan tahu sudah sejauh mana perkembangan menulis kita.
Kelima, mengapresiasi diri
Jangan pernah menganggap bahwa kamu bodoh karena belum berhasil. Mungkin kamu hanya butuh lebih banyak mencoba. Thomas Alva Edison butuh gagal beratus-ratus kali untuk bisa menemukan bola lampu.Â
Gagal sekali bukan berarti kamu buruk. Hargai semua kerja keras yang sudah kamu lakukan. Karena yang terpenting dari belajar adalah proses. Proses yang baik akan mendapatkan hasil yang baik pula.
Terakhir, saya pernah membaca quote dari Mark Twain, Ia mengatakan, "Continuous improvement is better than delayed perfection." Jangan tunggu tulisanmu "sempurna". Â Teruslah menulis dan berikan peningkatan di setiap tulisanmu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H