Mohon tunggu...
cholid baidaie
cholid baidaie Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Menulis untuk menghidupkan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesenjangan Generasi: Membongkar Mitos dan Menyoroti Bias Kelas

13 Maret 2023   02:52 Diperbarui: 13 Maret 2023   03:06 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kesenjangan Generasi: Membongkar Mitos dan Menyoroti Bias Kelas"

“OK, Boomer!” adalah sebuah ungkapan yang digunakan sebagai respons terhadap komentar atau sikap seseorang yang dianggap sebagai representasi dari generasi baby boomer, yaitu orang-orang yang lahir antara tahun 1946 dan 1964. Ungkapan ini menjadi viral pada tahun 2019 dan menjadi bagian dari budaya populer di media sosial

Pandangan tentang adanya kesenjangan generasi tidak dapat diabaikan begitu saja, karena memang ada perbedaan dalam pandangan hidup, nilai, dan moralitas antara generasi yang berbeda. Namun, tidak semua orang dalam satu generasi memiliki pandangan yang sama dan tidak semua orang dari generasi yang berbeda berbeda secara signifikan. Oleh karena itu, generalisasi yang mengklaim bahwa satu generasi memiliki sifat tertentu tidaklah sepenuhnya benar.

Selain itu, pandangan tentang kesenjangan generasi juga dapat terpengaruh oleh bias kelas atau persepsi stereotip. Sebagai contoh, perbedaan dalam penggunaan teknologi atau media sosial bukanlah faktor yang pasti membedakan generasi, karena tidak semua orang dari generasi yang sama memiliki tingkat penggunaan teknologi yang sama. Selain itu, pandangan stereotip tentang generasi tertentu dapat mengaburkan perbedaan individu dalam generasi tersebut.

Namun, perlu diakui bahwa faktor-faktor tertentu seperti pengalaman hidup, sejarah, dan peristiwa yang mempengaruhi suatu generasi dapat memengaruhi pandangan hidup dan nilai yang dipegang oleh generasi tersebut. Oleh karena itu, pandangan tentang adanya kesenjangan generasi tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar.

Dalam konteks yang lebih luas, pandangan tentang kesenjangan generasi dapat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat. Pandangan ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pendidikan, kelas sosial, dan pengalaman hidup yang berbeda-beda antara generasi yang berbeda. Oleh karena itu, ketika menggunakan ungkapan seperti “OK, Boomer!”, perlu diingat bahwa generalisasi tentang satu generasi dapat menjadi tidak akurat dan dapat menyebabkan konflik yang tidak perlu.

Pemahaman tentang "kesenjangan generasi" bermula dari sebuah esai yang ditulis oleh Karl Mannheim. Pada tahun 1928, sosiolog keturunan Yahudi dari Hungaria yang kemudian mengungsi ke Jerman menerbitkan sebuah esai yang berjudul Das Problem der Generationen. Esai ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1952 dengan judul The Problem of Generations.

Mannheim awalnya adalah murid Georg Lukacs. Mereka berpisah secara ideologis ketika Lukacs menjadi seorang komunis. Pada saat Laksamana Horthy merebut kekuasaan di Hungaria dan mendirikan rezim fasis pada tahun 1920, Lukacs dan Mannheim terpaksa mengungsi. Mannheim kemudian pergi ke Jerman dan bekerja di bawah bimbingan Alfred Weber, adik kandung dari Max Weber. Namun, Mannheim harus mengungsi lagi pada tahun 1933, karena adanya persekusi Nazi yang semakin meningkat di Jerman.

Sebagai seorang sosiolog yang terlatih dengan baik dalam tradisi Marxian maupun Weberian, minat Mannheim tentu saja terfokus pada soal kelas sosial. Das Problem sebenarnya membicarakan tentang posisi kelas, yang menurutnya ditentukan oleh posisi seseorang atau satu kelompok dalam realitas kesejarahan, dan didasarkan pada dinamika dan perubahan struktur ekonomi dan kekuasaan di zaman tertentu (Mannheim, 1952: 290).

Bagi Mannheim, lokasi sosial seseorang atau satu kelompok akan menentukan bagaimana mereka memandang zaman di mana mereka hidup (Mannheim, 1952: 291-2). Meskipun lokasi generasional menentukan pengalaman historis apa yang dialami oleh seluruh masyarakat, lokasi sosial seseorang atau satu kelompok membatasi aspek yang mungkin dilihat dari pengalaman tersebut. Dengan demikian, satu kelompok orang yang usianya sebaya dapat digolongkan sebagai sebuah generasi aktual; namun generasi aktual ini terbagi lagi dalam unit-unit generasional, yang merupakan kelompok orang yang memahami situasi kesejarahannya dengan cara serupa (Mannheim, 1952: 304).

Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta adalah salah satu contoh konkretnya. Dari lokasi generasional, mereka yang masih berusia 20-an pada tahun itu akan memandang peristiwa ini dengan cara berbeda dari mereka yang telah berusia 50-an, karena himpunan pengalaman mereka berbeda. Di antara mereka yang berusia 20-an, seorang prajurit akan memandang peristiwa ini dengan cara yang berbeda dari seorang buruh pabrik, atau seorang anak pejabat, atau seorang anak muda keturunan Tionghoa. Inilah perbedaan dari sudut lokasi sosial.

Mannheim juga menyebutkan (1952: 289-290) bahwa kesadaran kelas dapat mendorong seseorang untuk mengadopsi pandangan kelas tertentu, yang tidak selalu sama dengan posisi sosialnya. Dalam hal ini, Mannheim melihat bahwa pandangan kelas bukanlah sesuatu yang statis dan tetap, tetapi bisa berubah-ubah tergantung pada perubahan situasi sosial dan sejarah.

Dalam pandangan Mannheim, kelompok-kelompok generasi memiliki pengalaman historis yang berbeda dan cenderung untuk membangun perspektif-perspektif yang berbeda pula. Hal ini dapat berdampak pada perbedaan nilai, keyakinan, sikap, dan perilaku di antara kelompok-kelompok generasi yang berbeda. Oleh karena itu, kesenjangan generasi adalah fenomena sosial yang muncul akibat perbedaan pandangan, nilai, dan sikap antara kelompok-kelompok generasi.

Teori Mannheim mengenai kesenjangan generasi ini kemudian menjadi inspirasi bagi banyak penelitian tentang fenomena kesenjangan generasi selama beberapa dekade ke depan. Banyak peneliti kemudian menggunakan pendekatan Mannheim dan mengembangkan konsep-konsep baru seperti generasi X, generasi Y, dan generasi Z. Konsep-konsep tersebut digunakan untuk memahami perbedaan antar kelompok generasi dalam hal nilai, sikap, perilaku, dan preferensi konsumsi. Konsep-konsep ini terus berkembang hingga saat ini, dan menjadi salah satu topik yang menarik dalam ilmu sosial dan bisnis.

Kesenjangan generasi sering kali dianggap sebagai sebuah konstruksi sosial belaka. Media konvensional dan sosial sering menggunakan istilah-istilah seperti Gen-X, Gen-Y, Milenial, atau Gen-Z. Namun, penelitian meta-analisis pada tahun 2012 menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan signifikan antara "generasi" dalam hal karakter individu, bahkan kelompok umur tertentu. Faktor seperti usia dan kepastian kerja lebih berpengaruh pada tingkat kepuasan kerja dan komitmen kerja seseorang.

Penelitian lain menunjukkan bahwa generasi yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok dalam hal prioritas hidup dan nilai yang dianut. Ada sedikit perbedaan dalam urutan prioritas dan bobot yang diberikan pada tiap item, namun kecenderungan umumnya serupa.

Beberapa penelitian bahkan mengatakan bahwa teori generasi bukanlah sebuah teori yang dapat difalsifikasi. Dalam paradigma Popperian, sebuah teori yang tidak dapat difalsifikasi bukanlah teori yang dapat dianggap ilmiah.

Kita perlu mempertanyakan apakah ada agenda di balik paparan media massa yang begitu rajin bicara tentang "kesenjangan generasi" ini. Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa kesenjangan generasi tidak sebesar yang digambarkan oleh media.

Media massa, termasuk media sosial, sering dianggap sebagai "tiang demokrasi". Namun, teori Marxian telah mengungkapkan bahwa kesadaran yang dominan dalam masyarakat mencerminkan pandangan ideal kelas berkuasa tentang bagaimana masyarakat harus diatur, termasuk pandangan mereka tentang relasi kerja dan sosial.

Kelas berkuasa, dengan uang mereka, mempengaruhi pembentukan kesadaran khalayak melalui media massa yang dikendalikan oleh mereka. Metode pengendalian kesadaran massa ini selalu berubah sesuai dengan perkembangan teknologi yang tersedia dan dapat diakses oleh kelas berkuasa. Sejarah mencatat terjadinya berbagai peristiwa di mana kesadaran massa berhasil direbut setelah media dominan berhasil dikenali cara kerjanya dan disubversi.

Saat ini, media sosial menjadi media dominan yang belum dikenali dan diakui sebagai alat kelas berkuasa untuk mengendalikan cara pandang khalayak atas dunia. Media sosial menciptakan sebuah struktur hierarkis berdasarkan "influencers" dan "buzzers" yang menjadi kekuasaan baru yang tidak memiliki mekanisme kontrol dan akuntabilitas.

Selain itu, keberhasilan di media sosial diukur dari logika pasar, yaitu engagement. Seorang pembentuk opini akan melihat apa yang digemari pasar dan menyediakan produk untuk di-Like dan di-Share, yang pada dasarnya merupakan produk entertainment.

Meskipun belum ada penelitian secara mendalam tentang hal ini, kelompok pemengaruh di media sosial (terutama di Indonesia) didominasi oleh tokoh-tokoh borjuis dan borjuis kecil. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial tetap menjadi media yang dikendalikan oleh anggota kelas berkuasa untuk mengkampanyekan pemikiran dan cara pandang kelas berkuasa, termasuk pemikiran tentang "kesenjangan generasi".

Setelah meninjau langsung tulisan Mannheim, yang menjadi dasar ilmiah untuk teori Kesenjangan Generasi, dapat disimpulkan bahwa teori Mannheim telah diputarbalikkan dan disalahgunakan. Mannheim mendorong orang untuk memahami bagaimana perubahan struktur ekonomi dan politik dapat mempengaruhi cara pandang seseorang, terutama dari berbagai generasi, terhadap dunia. Namun, teori ini diputarbalikkan menjadi "generasi menentukan bagaimana orang memandang dunia".

Dalam teori Mannheim, posisi kelas seseorang tetap menjadi faktor utama yang menentukan pandangan mereka atas dunia. Namun, dalam teori Kesenjangan Generasi yang dihebohkan oleh media massa saat ini, generasi dianggap sebagai faktor utama dalam perbedaan pandangan terhadap dunia.

Ini adalah di mana bias kelas merusak teori Kesenjangan Generasi: dengan menyalahkan "kesenjangan generasi", media massa mengalihkan perhatian publik dari faktor-faktor sosial yang sebenarnya (Little dan Winch, 2017). Sebaliknya, ketimbang mempertimbangkan kekhawatiran generasi muda yang disebabkan oleh faktor kelas, ras, gender, dan ketimpangan sosial, pemberontakan generasi muda ini dianggap disebabkan semata oleh "generasi" mereka.

Dengan menyebut "Gen-Z" sebagai "tidak komitmen pada pekerjaan" atau "mudah berganti-ganti pekerjaan", kita lupa bahwa neoliberalisme telah memaksakan sistem hubungan kerja yang semakin "fleksibel". "Kerja fleksibel", atau "penghancuran kerja layak", memaksakan sistem kontrak yang tidak menjamin pekerja untuk bekerja lama di satu perusahaan. Jika dunia bisnis tidak lagi setia pada pekerja, mengapa pekerja harus setia pada perusahaan?

Atau dengan menyebut "Gen-Z" sebagai "narsisistik", kita lupa bagaimana model kampanye iklan kapitalis menggunakan "citra" sebagai pendorong untuk melakukan pembelian. Castro (2015) menyebut bahwa neoliberalisme melangkah lebih jauh dengan menjadikan konsumen sebagai agen pemasaran. Neoliberalisme mendorong "partisipasi" konsumen dalam membangun citra sebuah produk. Ini terkait dengan pembangunan struktur "pendengung dan pemengaruh" yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan menciptakan ilusi "partisipasi" dan "kebebasan berbicara", neoliberalisme menciptakan jenis pekerjaan baru yang disebut "kerja tak kasat mata (invisible work)" - yang pada dasarnya adalah kerja yang tidak dibayar - berbasis pada "citra diri" ini (Anthony, 2020).

Bagaimana dengan tuduhan bahwa "Gen-Z" kecanduan media sosial? Kecanduan media yang menyediakan hiburan selalu ada sepanjang waktu. Pada zaman Romawi Kuno, kecanduan dan hooliganisme berbasis pertunjukan gladiator telah ada. Pada zaman abad pertengahan Eropa, ada permintaan yang sangat besar untuk para penyair keliling – sebuah profesi yang tergantung pada media massa pada waktu itu - dan orang-orang dianggap kecanduan cerita dan gosip. Seiring dengan kemajuan teknologi dan media sosial modern, kecanduan media sosial menjadi fenomena baru dalam sejarah manusia. Namun, tuduhan ini tidak dapat diterapkan secara eksklusif pada generasi muda. Sebagian besar orang dari semua usia menggunakan media sosial, dan orang tua yang lebih tua seringkali lebih banyak menggunakan media sosial daripada generasi muda.

Dalam rangka untuk memahami perbedaan pandangan antara generasi, kita perlu mempertimbangkan faktor-faktor kelas sosial, ras, gender, dan ketimpangan sosial yang terkait dengan pengalaman hidup individu. Dalam situasi ketika keunggulan kelas menentukan akses ke sumber daya, kesempatan, dan hak-hak dasar, sangat tidak adil untuk menyalahkan "kesenjangan generasi" sebagai satu-satunya faktor yang mempengaruhi pandangan seseorang atas dunia.

Penting untuk memahami bahwa teori Kesenjangan Generasi bukanlah sebuah alat untuk menyalahkan atau mengkategorikan orang, tetapi alat untuk memahami bagaimana perubahan sosial dan ekonomi dapat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap dunia. Kita harus menghindari kesalahan interpretasi yang telah terjadi dalam diskursus media massa dan memperhatikan faktor-faktor sosial yang sesungguhnya yang mempengaruhi pengalaman hidup individu, termasuk ketimpangan kelas, ras, gender, dan sosial.

Jika tidak ada perbedaan yang signifikan antara generasi-generasi tersebut, bagaimana cara menyikapi Generasi Media Sosial?

Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa Generasi Media Sosial tumbuh di tengah krisis ekonomi dan politik yang terus berlanjut. Kemenangan neoliberalisme terjadi pada saat yang sama dengan runtuhnya rezim-rezim militer pendukung neoliberal pada tahun 1990-an. Revolusi komputasi dan digital, yang menjanjikan kemudahan hidup, terjadi pada saat yang sama dengan peningkatan ketidakpastian pekerjaan. Penguatan berbagai mekanisme HAM terjadi pada saat yang sama dengan ekspansi korporasi multinasional yang seringkali menimbulkan pelanggaran HAM. Globalisasi dan kebebasan yang terbuka di mana-mana terjadi pada saat yang sama dengan peningkatan terorisme dan gerakan-gerakan anti-demokrasi yang didasarkan pada agama atau ras. Semua ini membuat situasi menjadi kontradiktif dan membingungkan.

Kedua, gerakan sosial telah dibajak oleh neoliberalisme melalui proses formalisasi demokrasi dan restrukturisasi gerakan menjadi serangkaian proyek yang tergantung pada agenda donor. Kampanye tentang demokrasi dan kesadaran tentangnya sudah berlangsung cukup lama dan menjangkau banyak orang. Namun, gerakan sosial yang seharusnya memperjuangkan demokrasi justru terjebak dalam proyek-proyek jangka pendek yang tidak berusaha mengubah struktur sosial, kekuasaan, dan kelas. Gerakan sosial telah menjadi seperti “pemadam kebakaran”, menangani berbagai kasus ketidakadilan tanpa berusaha menangani atau mengubah struktur sosial yang melahirkan ketidakadilan itu. Hal ini menimbulkan kebingungan, kelelahan, dan ketidakpastian di masa depan bagi generasi ini.

Ketiga, Generasi Media Sosial memiliki akses yang sangat luas pada informasi; keterbukaan informasi yang tidak pernah dinikmati generasi-generasi sebelumnya. Namun, tidak ada bimbingan bagi mereka tentang cara menyaring dan mengolah informasi yang diterima. Ditambah lagi, kelas berkuasa (secara langsung atau melalui kaki tangan mereka) menggelontorkan arus disinformasi—yang sekarang populer disebut sebagai berita palsu atau hoaks—untuk mengacaukan dan merancukan arus informasi.

Setidaknya ada tiga hal yang harus dipertimbangkan ketika berkomunikasi dengan Generasi Media Sosial. Generasi Media Sosial memiliki potensi yang jauh lebih besar untuk memahami kompleksitas masalah, membangun jembatan dialog antara isu dan komunitas, menjadi sebuah gerakan global, bahkan meruntuhkan sistem masyarakat lama yang dipenuhi ketidakadilan.

Namun, seperti pada isu lain, propaganda neoliberalisme telah menang. Melalui berbagai media, termasuk media sosial, neoliberalisme telah berhasil menanamkan citra diri tertentu pada Generasi Media Sosial, yang mendorong mereka untuk fokus pada pencapaian pribadi dan kesuksesan individual. Hal ini menyebabkan mereka kurang peduli terhadap isu sosial dan politik yang lebih besar.

Oleh karena itu, pertama-tama kita harus menciptakan lingkungan di mana Generasi Media Sosial dapat memahami kontradiksi dan kompleksitas masalah sosial dan politik, dan di mana mereka dapat belajar mengembangkan keterampilan kritis dan analitis. Kita harus menempatkan mereka dalam posisi untuk menjadi pemimpin dan penggerak dalam gerakan sosial, daripada hanya menjadi pengikut.

Kedua, kita perlu memperbaiki keterbukaan informasi. Ini bisa dilakukan dengan membantu generasi ini untuk mengembangkan keterampilan saringan informasi dan membedakan informasi yang benar dari yang salah. Selain itu, kita harus bekerja sama dengan mereka untuk memperkuat media alternatif yang menyajikan informasi yang akurat dan tidak bias.

Ketiga, kita perlu memberikan ruang bagi Generasi Media Sosial untuk mengekspresikan diri mereka dan terlibat dalam perubahan sosial dan politik. Kita harus memperkuat dan mendukung gerakan sosial yang memperjuangkan isu-isu yang penting bagi mereka, seperti isu lingkungan dan hak asasi manusia.

Dalam hal ini, penting untuk diingat bahwa generasi-generasi sebelumnya memiliki peran penting untuk memfasilitasi dialog antara generasi yang berbeda. Kita harus membuka diri untuk memahami pengalaman dan perspektif yang berbeda, dan memastikan bahwa generasi yang lebih tua dan muda dapat belajar satu sama lain dan bekerja sama untuk menciptakan perubahan yang positif.

Dalam kesimpulannya, kita harus menyadari bahwa Generasi Media Sosial memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif dalam masyarakat, tetapi juga menghadapi tantangan yang kompleks. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membuka ruang dan mengembangkan lingkungan yang mendukung dan memungkinkan mereka untuk berkembang dan berpartisipasi dalam perubahan sosial dan politik yang lebih besar.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun