Meskipun belum ada penelitian secara mendalam tentang hal ini, kelompok pemengaruh di media sosial (terutama di Indonesia) didominasi oleh tokoh-tokoh borjuis dan borjuis kecil. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial tetap menjadi media yang dikendalikan oleh anggota kelas berkuasa untuk mengkampanyekan pemikiran dan cara pandang kelas berkuasa, termasuk pemikiran tentang "kesenjangan generasi".
Setelah meninjau langsung tulisan Mannheim, yang menjadi dasar ilmiah untuk teori Kesenjangan Generasi, dapat disimpulkan bahwa teori Mannheim telah diputarbalikkan dan disalahgunakan. Mannheim mendorong orang untuk memahami bagaimana perubahan struktur ekonomi dan politik dapat mempengaruhi cara pandang seseorang, terutama dari berbagai generasi, terhadap dunia. Namun, teori ini diputarbalikkan menjadi "generasi menentukan bagaimana orang memandang dunia".
Dalam teori Mannheim, posisi kelas seseorang tetap menjadi faktor utama yang menentukan pandangan mereka atas dunia. Namun, dalam teori Kesenjangan Generasi yang dihebohkan oleh media massa saat ini, generasi dianggap sebagai faktor utama dalam perbedaan pandangan terhadap dunia.
Ini adalah di mana bias kelas merusak teori Kesenjangan Generasi: dengan menyalahkan "kesenjangan generasi", media massa mengalihkan perhatian publik dari faktor-faktor sosial yang sebenarnya (Little dan Winch, 2017). Sebaliknya, ketimbang mempertimbangkan kekhawatiran generasi muda yang disebabkan oleh faktor kelas, ras, gender, dan ketimpangan sosial, pemberontakan generasi muda ini dianggap disebabkan semata oleh "generasi" mereka.
Dengan menyebut "Gen-Z" sebagai "tidak komitmen pada pekerjaan" atau "mudah berganti-ganti pekerjaan", kita lupa bahwa neoliberalisme telah memaksakan sistem hubungan kerja yang semakin "fleksibel". "Kerja fleksibel", atau "penghancuran kerja layak", memaksakan sistem kontrak yang tidak menjamin pekerja untuk bekerja lama di satu perusahaan. Jika dunia bisnis tidak lagi setia pada pekerja, mengapa pekerja harus setia pada perusahaan?
Atau dengan menyebut "Gen-Z" sebagai "narsisistik", kita lupa bagaimana model kampanye iklan kapitalis menggunakan "citra" sebagai pendorong untuk melakukan pembelian. Castro (2015) menyebut bahwa neoliberalisme melangkah lebih jauh dengan menjadikan konsumen sebagai agen pemasaran. Neoliberalisme mendorong "partisipasi" konsumen dalam membangun citra sebuah produk. Ini terkait dengan pembangunan struktur "pendengung dan pemengaruh" yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan menciptakan ilusi "partisipasi" dan "kebebasan berbicara", neoliberalisme menciptakan jenis pekerjaan baru yang disebut "kerja tak kasat mata (invisible work)" - yang pada dasarnya adalah kerja yang tidak dibayar - berbasis pada "citra diri" ini (Anthony, 2020).
Bagaimana dengan tuduhan bahwa "Gen-Z" kecanduan media sosial? Kecanduan media yang menyediakan hiburan selalu ada sepanjang waktu. Pada zaman Romawi Kuno, kecanduan dan hooliganisme berbasis pertunjukan gladiator telah ada. Pada zaman abad pertengahan Eropa, ada permintaan yang sangat besar untuk para penyair keliling – sebuah profesi yang tergantung pada media massa pada waktu itu - dan orang-orang dianggap kecanduan cerita dan gosip. Seiring dengan kemajuan teknologi dan media sosial modern, kecanduan media sosial menjadi fenomena baru dalam sejarah manusia. Namun, tuduhan ini tidak dapat diterapkan secara eksklusif pada generasi muda. Sebagian besar orang dari semua usia menggunakan media sosial, dan orang tua yang lebih tua seringkali lebih banyak menggunakan media sosial daripada generasi muda.
Dalam rangka untuk memahami perbedaan pandangan antara generasi, kita perlu mempertimbangkan faktor-faktor kelas sosial, ras, gender, dan ketimpangan sosial yang terkait dengan pengalaman hidup individu. Dalam situasi ketika keunggulan kelas menentukan akses ke sumber daya, kesempatan, dan hak-hak dasar, sangat tidak adil untuk menyalahkan "kesenjangan generasi" sebagai satu-satunya faktor yang mempengaruhi pandangan seseorang atas dunia.
Penting untuk memahami bahwa teori Kesenjangan Generasi bukanlah sebuah alat untuk menyalahkan atau mengkategorikan orang, tetapi alat untuk memahami bagaimana perubahan sosial dan ekonomi dapat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap dunia. Kita harus menghindari kesalahan interpretasi yang telah terjadi dalam diskursus media massa dan memperhatikan faktor-faktor sosial yang sesungguhnya yang mempengaruhi pengalaman hidup individu, termasuk ketimpangan kelas, ras, gender, dan sosial.
Jika tidak ada perbedaan yang signifikan antara generasi-generasi tersebut, bagaimana cara menyikapi Generasi Media Sosial?
Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa Generasi Media Sosial tumbuh di tengah krisis ekonomi dan politik yang terus berlanjut. Kemenangan neoliberalisme terjadi pada saat yang sama dengan runtuhnya rezim-rezim militer pendukung neoliberal pada tahun 1990-an. Revolusi komputasi dan digital, yang menjanjikan kemudahan hidup, terjadi pada saat yang sama dengan peningkatan ketidakpastian pekerjaan. Penguatan berbagai mekanisme HAM terjadi pada saat yang sama dengan ekspansi korporasi multinasional yang seringkali menimbulkan pelanggaran HAM. Globalisasi dan kebebasan yang terbuka di mana-mana terjadi pada saat yang sama dengan peningkatan terorisme dan gerakan-gerakan anti-demokrasi yang didasarkan pada agama atau ras. Semua ini membuat situasi menjadi kontradiktif dan membingungkan.