Mohon tunggu...
Handoko Jafar
Handoko Jafar Mohon Tunggu... Dosen - @pena tanpa tinta

Iqra' wa uktub

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Scopus & Pseudo-Author

27 Mei 2024   18:00 Diperbarui: 27 Mei 2024   18:38 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
searchenginejournal

Fenomena produktivitas palsu dan munculnya penulis semu dalam penerbitan akademik, terutama pada platform seperti Scopus telah menarik banyak perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Dua istilah terkait, pertama istilah 'produktivitas palsu' mengacu pada praktik penggelembungan catatan publikasi seseorang secara artifisial, sering kali melalui cara-cara yang tidak etis seperti tidak rasionalnya banyaknya makalah yang diterbitkan, terlibat dalam praktik penelitian yang meragukan/tidak terlibat secara langsung, tidak berkontribusi pada penelitian dan penyusunan laporan, hanya menopang biaya publikasi, atau berpartisipasi kegiatan curang seperti pembelian kuota co-writer yang tidak lebih hanya penitipan nama penulis. Kedua, penulis semu adalah individu yang mungkin tidak berkontribusi secara signifikan terhadap penelitian, tetapi terdaftar sebagai penulis untuk meningkatkan produktivitas yang dirasakan oleh peneliti tertentu.

Esai ini menyentuh isu-isu kritis seputar produktivitas palsu (fake productivity) dan kepengarangan semu (pseudo-author) dalam penerbitan akademis, dengan fokus pada peran pengindeks prestisius, Scopus. Hal ini dipandang perlu untuk dibahas dan dilakukan tindakan nyata untuk mengatasi seputar permasalahannya demi kealamiahan penulisan ilmiah, kemajuan komunitas ilmiah dan integritas penelitian akademis.

Beberapa masalah seperti (1) lonjakan penulis yang sangat produktif, satu kasus mengemuka dan mendapat banyak sorotan secara sarkas pada salah satu dosen di perguruan tinggi akhir-akhir ini, seiring dengan banyaknya jurnal predator dan praktik penerbitan yang dipertanyakan, (2) penulis semu dan tekanan akademik, dan (3) dampak terhadap literatur ilmiah penting untuk dikaji dan diberikan solusi.

Lonjakan Penulis yang 'Sangat Produktif'

Lonjakan jumlah penulis yang super produktif membuat para ilmuwan khawatir. Gema Conroy dalam artikelnya, "Surge in number of 'extremely productive' authors concerns scientists" sebagaimana yang dilansir  oleh nature.com 11/12/2023 menyatakan bahwa sebuah penelitian menyoroti lonjakan penulis yang 'sangat produktif', dengan beberapa di antaranya menerbitkan makalah baru setiap lima hari sekali. Tingkat luaran (output) yang belum pernah terjadi sebelumnya ini telah menimbulkan kekhawatiran tentang keaslian penelitian dan integritas penulis yang terlibat. Studi yang mengecualikan fisika karena praktik kepenulisan yang unik ini menemukan bahwa sebagian besar penulis yang sangat produktif ini berasal dari bidang kedokteran klinis, pertanian, perikanan, dan kehutanan.

Masalah ini diperparah dengan adanya jurnal predator, yang dikenal dengan praktik penerbitannya yang meragukan. Artikel Dalmeet Singh Chawla (2021), "Hundreds of 'predatory' journals indexed on leading scholarly database," menyoroti jurnal-jurnal predator sering kali meminta biaya tinggi untuk publikasi sementara menawarkan layanan editorial yang minim, yang mengarah pada penyebaran ilmu pengetahuan berkualitas rendah. Analisis tersebut mengungkapkan bahwa Scopus menampung makalah dari lebih dari 300 jurnal yang berpotensi menjadi predator, yang berkontribusi pada hampir 3% dari studi yang diindeks selama periode tiga tahun.

Penulis Semu dan Tekanan Akademik

Mertkan et al. (2021) secara sistematis meninjau profil penulis yang menerbitkan di jurnal 'predator' dan faktor penyebab di balik keputusan mereka, dalam artikel bertajuk, "Profile of authors publishing in 'predatory' journals and causal factors behind their decision: A systematic review" mengemukakan munculnya penulis semu dapat dikaitkan dengan tekanan yang kuat di kalangan akademisi untuk sering mempublikasikan karya ilmiah, yang telah menyebabkan menjamurnya publikasi predator dan publikasi ilmiah semu. Hal ini menguat seiring dengan keraguan Steve Kisely (2018) terhadap jurnal predator dan penerbitnya yang lansir dalam, "Predatory journals and dubious publishers: How to avoid being their prey." Artikel yang dimuat cambridge.org ini menggarisbawahi bahwa para peneliti, terutama yang berada di awal karir mereka atau dari daerah dengan pengawasan akademik yang kurang ketat, mungkin merasa terdorong untuk menerbitkan di jurnal-jurnal ini untuk memenuhi harapan institusi atau untuk memajukan karir mereka. Tekanan ini dapat menyebabkan pengabaian terhadap kualitas tempat publikasi dan, dalam beberapa kasus, keputusan sadar untuk mengirimkan artikel ke jurnal predator meskipun mereka sadar akan reputasinya.

Dampak terhadap Literatur Ilmiah

Penyusupan artikel pseudo-ilmiah ke dalam database bereputasi merupakan ancaman yang signifikan terhadap integritas literatur ilmiah. Hal ini dapat menyebabkan penyebaran ilmu pengetahuan yang tidak dapat dipercaya, karena para peneliti mungkin secara tidak sadar mendasarkan pekerjaan mereka pada temuan yang cacat atau palsu. Hal ini, pada gilirannya, dapat menimbulkan efek berjenjang, mencemari literatur ilmiah dan merusak kredibilitas upaya penelitian yang asli. Lebih jauh (Chawla, 2021) menggagas perang melawan produktivitas palsu dan kepengarangan semu.

Mengatasi masalah produktivitas palsu dan kepenulisan semu membutuhkan pendekatan yang beragam. Institusi akademik dan penerbit harus bekerja sama untuk membuat pedoman yang jelas untuk kepengarangan dan untuk mempromosikan transparansi dalam proses publikasi. Para peneliti harus diedukasi mengenai bahaya jurnal predator dan didorong untuk memverifikasi keabsahan jurnal sebelum mengirimkan karya mereka. Selain itu, pangkalan data seperti Scopus perlu menerapkan langkah-langkah ketat untuk mencegah pengindeksan jurnal predator dan mengevaluasi kembali konten yang sudah ada di pangkalan data mereka. Tantangan yang ditimbulkan oleh produktivitas palsu dan penulis palsu dalam penerbitan akademik sangat kompleks dan berakar kuat pada budaya 'publish or perish' saat ini. Budaya yang menggambarkan tekanan untuk menerbitkan dalam jurnal ilmiah secara cepat dan berkelanjutan sebagai syarat untuk kemajuan karier atau mempertahankan posisi seseorang.

Meskipun platform seperti Scopus menyediakan sumber daya yang berharga untuk penyebaran pengetahuan ilmiah, platform ini juga harus bertanggung jawab untuk menjaga kualitas dan integritas literatur yang diindeksnya. Hanya melalui upaya kolektif untuk mempromosikan praktik penerbitan yang beretika, komunitas akademis dapat berharap untuk melestarikan kepercayaan terhadap penelitian dan publikasi ilmiah. Sebagai pengindeks bonafide, Scopus dalam pandangan saya kerap terkecoh oleh peneliti yakni dosen perguruan tinggi. Karena baginya yang penting adalah publikasi berbayar dari hasil penelitian persetan dengan jumlah dan siapa penulisnya.

Idealnya, riset yang baik itu jika dilakukan secara kolektif, berjama'ah. Faktanya, mahalnya biaya publikasi menjadi penyebab utama bertambahnya jumlah penulis yg diikutsertakan. Penulis pendukung tepatnya tambahan (co-writer) tidak berhenti pada penulis kedua tapi berlanjut sampai sekian deret nama.

Pada akhirnya, prinsip gotong royong/patungan dalam karya tulis ilmiah menjadi fenomena tidak ilmiahnya penelitian itu sendiri. Alih-alih untuk mengukuhkan kredibilitas seorang penulis, yang terjadi malah Scopus membidani lahirnya pseudo-penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun