Mohon tunggu...
Handoko Jafar
Handoko Jafar Mohon Tunggu... Dosen - @pena tanpa tinta

Iqra' wa uktub

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Visi Pendidikan Islam dalam Prespektif Pemikiran Pendidikan: Filosofis-Psikologis

12 Mei 2024   18:00 Diperbarui: 12 Mei 2024   18:04 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dalam mukadimah artikel," A Vision of Effective Islamic Education," Dawud Tauhidi (2001) mengajukan kegelisahan akademiknya berupa pertanyaan, “Apa yang keliru dengan pendidikan Islam?” Sebuah pertanyaan yang berlatar belakang ketidak selarasan  kehidupan umat Islam sekarang dengan prinsip-prinsip Islam dan nilai-nilai keyakinan.

Lebih lanjut ia memandang, akhir-akhir ini Islam diajarkan sebatas sebagai informasi dan bukan pengalaman-pengalaman. Bagi kebanyakan peserta didik, Islam tidak memberi inspirasi serta nampak kurang berarti dan tidak relevan dengan kehidupan pribadi dan pengalaman-pengalaman mereka.

Pendidikan Islam pada kondisi teks kekinian memerlukan pemikiran- pemikiran baru. Sebuah visi pendidikan Islam yang efektif ditawarkan oleh Dawud Tauhidi, rasa-rasanya perlu untuk ditelaah lalu dianalisis sejauh mana efektivitas visi pendidikan Islam berdampak  pada anak didik.

Tantangan bagi Pendidikan Islam

Adanya pengaruh kuat paham matrealis sekular dan sistem nilainya menjadi tantangan tersendiri bagi baik individu maupun komunitas keagamaan. Tauhidi memandang hal demikian tergantung pada bagaimana kita mendidik  dan bergantung pada keberhasilan kita dalam mentransformasikan visi suci ataupun  pandangan hidup umat Islam. Ia menekankan pentingnya keberlangsungan spiritual serta moral anak didik dan masyarakat Muslim.

Tidak bisa dipungkiri, paham materialis sekular berdampak kuat pada kehidupan umat Islam. Satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa Islam tidak menampik dunia materi bahkan memberi porsi tersendiri, menjadikan materi sebagai alat interaksi sosial, mengejewantahkan ajaran Islam lewat cara berbagi materi dan menjadikan pencapaian materi yang manusiawi sebagai bentuk lain peribadatan.

Materi merupakan aspek untuk bertahan hidup paling nyata saat ini, terlepas dari paham materialis sekular, kecenderungan seseorang meski ia seorang Muslim untuk mendapatkan banyak materi selalu ada. Hal demikian sesuai dengan  aspek biologis yang merupakan aspek orisinil. Sebuah aspek yang menurut Sigmund Freud berfungsi dengan berpegang pada prinsip “kenikmatan”, yaitu mencari keenakan dan menghindarkan diri dari ketidak-enakan. Saat inipun, sebagaimana orientasi pendidikan ala Ibn Khaldun, materi ditempatkan sebagai tujuan pertama pendidikan dengan bahasa peningkatan kualitas hidup menggantikan tujuan semula pendidikan Islam yaitu terbentuknya manusia yang bertaqwa, berkepribadian Muslim, menjadi insan kamil, ulul albab atau yang lainnya, sebab pada akhirnya tujuan-tujuan mulia itupun akan berhenti pada satu titik penting; materi sebagai tujuan sekaligus nyawa pendidikan.

Tauhidi menyadari pengaruh kuat paham materialis sekular yang berdampak pada pemarjinalan nilai-nilai ajaran Islam. Kegelisahan yang sama, banyak dialami pemerhati maupun praktisi pendidikan Islam. Banyak upaya yang telah dilakukan, seperti Islamisasi (al-Attas), naturalisasi (al-Ghazali), internalisasi (SH. Nasser), Easternisasi (dalam pandangan Bassam Tibi) sampai De-Westernisasi menurut (Adnin Armas) selalu menggusung dikotomi-independensi Barat-Timur: Sains-Agama yang pasti berakhir pada konflik berkepanjangan yang tidak berkesudahan. Belum ada upaya memberi ruang pengakomodiran sebagaimana anjuran Emmanuel Kant untuk menuju integralistik-holistik Barat-Timur. Mengacu pada pengalaman dari para pendahulunya, Tauhidi menyajikan pengulangan gagasan pendidikan Islam yang efektif, mengena di kehidupan nyata, tidak di awang-awang tapi landing sesuai dengan kebutuhan dan sejalan dengan minat peserta didik melalui pemahaman Islam yang tepat serta aplikatif (being Muslim).

Dengan tanpa pemahaman yang tepat akan sistem nilai Islam, ia meyakini bahwa tujuan (maqasid) pendidikan Islam akan sulit dicapai. Pada dasarnya, pendidikan Islam memiliki peranan penting dalam memberikan solusi konkrit serta program-program yang akan membantu  pemahamam bagi peserta didik, juga dalam meningkatkan peranan dan tanggung jawab keluarga terhadap proses pendidikan.

Merespon wacana pembaharuan ini, Banyak yang berusaha keras untuk menemukan solusi riil dalam menghadapi permasalahan dan tantangannya, termasuk mengkaji ulang konsep how dan what yang telah diterapkan dalam pengajaran tentang Islam. Premis mendasar adalah bagaimana pendidik Muslim membangun kembali kurikulum kajian Islam-apa yang musti diajarkan dan bagaimana ia diajarkan- bila direlevansikan dengan daya tahan (the spiritual survival skill) sebagai Muslim yang hidup di abad 21.

Tauhidi menggaris bawahi visi baru pendidikan Islam yang mampu mencetak generasi Muslim yang mempunyai tingkatan pemahaman, komitmen dan tanggung jawab sosial, yang mampu menyajikan Islam dan kemanusiaan secara efektif. Menurut dia, Pendidikan Islam harus bisa mencetak lulusan yang mampu mengenali, memahami lalu kemudian bisa bekerja sama menyelesaikan  permasalahan-permasalahan terkait erat dengan kehidupan yang telah diamanahkan. Permasalahannya adalah visi pengajaran yakni Islam sebagai materi ajar yang dengan sendirinya diharapkan berpengaruh dan mempunyai dampak positif terhadap perilaku-perilaku, tapi pada kenyataannya masih dibutuhkan proses penjadian perilaku-perilaku itu sendiri. Solusinya adalah bahwa tarbiyah wa ta’lim perlu diikuti dengan ta’dib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun