Mohon tunggu...
Husni Fatahillah Siregar
Husni Fatahillah Siregar Mohon Tunggu... Lainnya - Content Writer

Corporate Communication - Tennis Addict

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Serba Serbi Keluarga Diplomat: Tantangan Mencari Sekolah, Gegar Budaya, dan Kendala Bahasa yang Dialami Anak

23 Desember 2022   16:54 Diperbarui: 23 Desember 2022   22:15 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu saya pernah menulis tentang serba serbi suami diplomat (baca di sini), dan juga peran sebagai pendamping diplomat (baca di sini). Kedua tulisan tersebut membahas dari sudut pandang saya sebagai suami dalam mendampingi istri bertugas di KBRI. Dari tulisan-tulisan tersebut, ada beberapa pertanyaan yang masuk dan juga pertanyaan-pertanyaan yang saya terima secara langsung dari teman-teman atau keluarga, tentang bagaimana sih mengurus sekolah anak yang berpindah-pindah? Atau anak kesulitan kah dalam beradaptasi? Hingga, apakah anak saya lancar berbahasa Indonesia?

Oke, kita mulai dari cerita sekolah anak. Yang menjadi tantangan dalam urusan sekolah anak jujur saja bukan saat mengurus perpindahan dari sekolah di Indonesia ke sekolah di luar Indonesia. Tantangan terbesar justru saat mencari sekolah di Indonesia yang bisa menerima siswa pindahan dari luar negeri, dengan kurikulum dan sistem penilaian yang tentunya jauh berbeda dengan sekolah Indonesia.

Ketika anak saya harus menjalani pendidikan di New Zealand dan Ceko, sama sekali saya tidak kesulitan dalam proses mencari dan mendaftar sekolah. Saat di New Zealand anak saya baru mulai pendidikan sekolah dasar. Pihak sekolah sama sekali tidak menanyakan apakah anak saya sudah bisa membaca, menulis atau berhitung. Pihak sekolah hanya menanyakan berapa usia anak saya dan dimana kami tinggal, karena sistem pendidikan di sana menggunakan sistem zonasi. Bahkan pihak sekolah sama sekali tidak mempermasalahkan penguasaan bahasa Inggris anak saya yang saat itu masih belepotan. Pihak sekolah hanya melihat usia anak dianggap sudah cukup untuk memulai pendidikan dasar. Dan hanya berbekal fotokopi paspor (orangtua dan anak), maka anak saya sudah resmi diterima.

Pun, ketika anak saya harus menjalani pendidikan di Ceko. Saat itu karena masalah bahasa, saya dan istri sepakat mendaftarkan anak kami ke sekolah internasional bukan sekolah lokal. Sama halnya dengan di New Zealand, pihak sekolah tidak mempertanyakan nilai raport di sekolah sebelumnya. Memang ada tes, tapi bukan tes yang memberatkan anak. Tes yang berlangsung hanya 15 menit itu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman anak saya terhadap materi yang sudah didapatkan, seperti perkalian sederhana. Karena saat itu anak saya masuk ditengah-tengah tahun ajaran.

Cerita sekolah anak ini menjadi tantangan saat kembali ke Indonesia. Seperti yang saya sampaikan di awal, mencari sekolah di Indonesia yang mau dan bisa menerima siswa pindahan dari luar negeri ini yang "ngeri-ngeri sedap". Ketika kembali dari New Zealand, ada 5 sekolah yang saya jajaki. Dan saya ingat betul kepala sekolah di salah satu sekolah yang dijajaki mengatakan tidak bisa menerima anak saya, karena anak saya dipastikan akan sulit mengikuti materi tematik yang sudah berjalan. Saat itu, sebagai orang tua jujur ada rasa kecewa dengan sistem penerimaan siswa di sekolah Indonesia yang masih mementingkan kurikulum, nilai dan hal teknis lainnya.

Akhirnya dari 5 sekolah yang dijajaki, kami mendapatkan 1 sekolah yang mau menerima walaupun anak saya harus turun kelas. Nah, ini juga menjadi tantangan tersendiri. Karena pihak sekolah khawatir anak saya akan kesulitan dengan pelajaran di Indonesia, ditambah kendala bahasa dimana saat kembali dari New Zealand bahasa Indonesia anak saya tidak terlalu baik, maka pihak sekolah meminta anak saya untuk turun kelas. Setelah mempertimbangkan banyak hal, saya dan istri sepakat untuk tidak mempermasalahkan turun kelas tersebut.

 

Pepatah menyebutkan pengalaman adalah guru terbaik. Berbekal pengalaman yang "tidak begitu menyenangkan" saat mencari sekolah saat kembali dari New Zealand, maka ketika kami kembali ke Indonesia bulan Juli lalu dari Ceko, saya menggunakan strategi "ordal" alias orang dalam. Kebetulan sekolah yang dituju sesuai dengan yang diharapkan dan ada orang dalam, jadi lebih memudahkan prosesnya. Satu hal yang disyukuri bahwa Ujian Nasional (UN) ditiadakan. Kebetulan perpindahan dari Ceko ke Indonesia, anak saya naik ke kelas 6 dan yang paling penting tidak perlu turun kelas. Pihak sekolah mengatakan jika UN masih diberlakukan sulit untuk bisa menerima anak saya, walaupun ada orang dalam. Karena terkait hal-hal administratif yang harus dilaporkan ke dinas pendidikan sejak siswa di kelas 5. Kalaupun diterima, dipastikan anak saya harus turun kelas lagi. Untuk itu, terima kasih kepada Mas Menteri Nadiem yang menghapus kebijakan UN, sehingga mengurangi "kepusingan" saya .

Urusan sekolah beres, urusan adaptasi dan kendala bahasa jadi PR lain yang umumnya sering dihadapi keluarga diplomat. Sebagai orang tua, apa yang Anda lakukan ketika anak Anda datang menghampiri dan menumpahkan segala keluh kesahnya sambil menangis tersedu-sedu, mengatakan bahwa ia stress menjalani perubahan yang terjadi khususnya di sekolah?

Itulah yang saya dan istri hadapi, ketika anak kami merasa bahwa sistem sekolah di Indonesia begitu memberatkannya. Padahal sekolah yang kami pilih merupakan sekolah alam yang kurikulumnya menggabungkan kurikulum DIKNAS dan kegiatan alam. Pilihan pada sekolah alam sengaja kami ambil agar anak kami tidak terlalu kaget dengan sekolah di Indonesia dibandingkan dengan sekolahnya di Ceko, tapi ternyata ia masih merasa kewalahan juga.

Kondisi ini dipicu juga dengan kendala bahasa. Walaupun saya dan istri selalu membiasakan berbahasa Indonesia dengan anak, namun tetap saja bahasa juga menjadi kendala. Karena yang digunakan dalam percakapan sehari-hari adalah bahasa informal, sementara bahasa yang digunakan dalam buku-buku pelajaran adalah bahasa baku.

Saya bersyukur sistem di sekolah sangat mendukung, terutama dalam proses adaptasi yang tidak mudah dilalui anak saya. Setelah anak saya menumpahkan keluh kesahnya, saya dan istri langsung memutuskan untuk menemui wali kelasnya dan menyampaikan kondisi yang dialami anak kami. Tentu saja kami tidak meminta anak kami mendapat perlakuan istimewa, tapi dalam masa transisi dan adaptasi ini dukungan dari para guru terutama wali kelas, pastinya akan sangat membantu anak kami lebih cepat menyesuaikan diri.

Menjadi bagian dari keluarga diplomat tentunya memberi warna dan dinamika tersendiri. Yang selalu orang bayangkan adalah enaknya tinggal di luar negeri, berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, hingga dapat mengunjungi tempat-tempat yang menjadi icon dunia. Tapi, tentunya cerita kehidupan di belakang layar tidak selalu mulus dan seindah di depan layar.

Salam!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun