"PR ya, tukang foto-foto dong"
 "PR ya, oh yang suka bikin ngundang-ngundang media gitu kan"
 "PR ya, oh yang suka bikin seremoni-seremoni kan"
 "PR ya, eh itu kerjanya ngapain aja sih"
Lima belas tahun menjalani profesi sebagai seorang public relations (PR) atau humas, pertanyaan-pertanyaan diatas rasanya sudah menjadi sesuatu yang lazim didengar dari orang-orang ketika mengetahui profesi saya sebagai seorang PR. Salahkah pertanyaan-pertanyaan tersebut? Atau mungkin lebih tepatnya, salahkah pandangan orang-orang atas profesi PR?Â
Mencuatnya kasus Eiger pekan lalu, seolah menjawab dan makin menguatkan pandangan atau persepsi banyak orang akan profesi PR yang "terkesan" sangat sepele. "Itu Eiger punya PR gak sih", atau "PR nya Eiger ngapain aja sih sampe bisa kecolongan gitu". Mungkin itu juga yang ada dalam benak Anda ketika mengikuti kehebohan kasus Eiger.
Sebagai seorang PR, mengikuti kasus Eiger rasanya sedih sekaligus gregetan dibuatnya. Sedih karena pada kenyataannya masih ditemui organisasi yang belum menempatkan PR sebagai sebuah divisi atau unit kerja strategis. Apa yang terjadi pada kasus Eiger menunjukkan fungsi PR tidak berjalan optimal di perusahaan tersebut.Â
Ketika seorang GM HRGA dan Legal mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengatasnamakan organisasi dalam konteks komunikasi publik, memang tidak salah ketika akhirnya semua tanya tertuju pada "PR nya Eiger ngapain sih".
Makin gregetan dibuatnya, ketika penanganan kasus tersebut seolah hanya berusaha untuk cepat-cepat memadamkan api yang sudah berkobar sedemikian besar tanpa berusaha menggunakan strategi komunikasi yang tepat, hingga akhirnya malah memicu kehebohan baru.
Baiklah, kita lupakan kasus Eiger yang akhirnya berhasil padam. Kembali ke pertanyaan judul tulisan ini, seberapa pentingkah keberadaan PR dalam organisasi? Peran apa sih yang paling banyak dilakukan oleh praktisi PR di dalam organisasi, peran strategis atau hanya sebatas peran teknis?
Dua pertanyaan inilah yang menurut saya sering ditanyakan oleh publik terkait dengan fungsi dan peran PR di sebuah organisasi.Â
Sejatinya PR saat ini harus bertransformasi dan memainkan peranan strategis yang lebih besar, tidak hanya dalam membangun dan memperkuat citra perusahaan tetapi juga citra sebuah produk.Â
Praktisi PR harus bisa memainkan peran sentral dalam strategi komunikasi di organisasi baik internal maupun eksternal, dan harus memahami bagaimana menerapkan strategi komunikasi yang efektif guna membangun hubungan jangka panjang dengan para pemangku kepentingan sebagai bagian dari strategi organisasi.Â
Namun pada kenyataannya, masih banyak ditemukan organisasi yang belum menempatkan atau melibatkan PR pada peranan yang strategis. PR seolah ditempatkan sebagai "penggembira" semata.Â
Hal tersebut disebabkan belum adanya pemahaman, khususnya dari manajemen puncak, akan pentingnya peran PR dalam menjalankan strategi komunikasi baik internal maupun eksternal bagi organisasi.Â
Ditambah lagi, praktisi PR yang berada dalam organisasi semacam itu tidak mampu menunjukkan kapabilitasnya, dan merasa "puas" dengan stigma PR sebagai "tukang foto" atau sekedar "penggembira" semata tanpa berusaha mengembangkan kemampuan diri secara pengetahuan dan akhirnya terjebak dalam rutinitas teknis belaka.Â
Disinilah yang menjadi pekerjaan rumah sekaligus tantangan bagi seorang PR untuk menunjukkan kapabilitasnya dan meyakinkan manajemen puncak dalam menyusun strategi komunikasi yang sejalan dengan strategi organisasi, terutama dalam mendukung peningkatan keuntungan bagi organisasi.Â
Kalau begitu, pandangan publik bahwa PR hanya "tukang foto" atau "tukang bikin event" tidak salah dong? Saya katakan fifty-fifty, benar dan salah. Benar, hal tersebut terjadi umumnya di organisasi yang belum mature dari sisi penerapan strategi komunikasi.Â
Artinya organisasi tersebut lebih memprioritaskan bisnis semata. Apakah ada divisi atau unit kerja PR? Pasti ada, tapi ya itu tadi, tugasnya hanya sebagai "tukang foto" atau "tukang bikin event" atau "tukang undang media untuk seremonial". Dan kalaupun ada, "suara" PR tidak terdengar hingga ke manajemen puncak.
Di sisi lain, saya katakan salah, karena sudah dapat kita jumpai saat ini organisasi yang memiliki kepedulian yang sangat tinggi akan pentingnya komunikasi, baik komunikasi organisasi terlebih lagi komunikasi ke publik.
Pada organisasi semacam itu, bahkan PR bukan hanya berada pada tatanan divisi atau unit kerja semata, tapi kedudukannya sudah berada sejajar dan berada dalam lingkaran manajemen puncak.
Kasus Eiger, menurut saya seharusnya membuka mata para pihak yang saat ini berada di manajemen puncak khususnya di organisasi yang masih menganggap sepele peran PR, untuk melihat dan mengkaji kembali bagaimana komunikasi menjadi bagian penting dalam strategi organisasi mereka.Â
Percayalah, tidak ada satu organisasi pun yang siap menghadapi krisis, namun ketika sebuah organisasi sudah memiliki tim komunikasi yang handal, maka ketika krisis terjadi akan lebih mudah untuk memadamkan api yang berkobar. Karena tidak bisa dipungkiri, tim komunikasi lah yang akan berada di garda terdepan ketika krisis menghantam sebuah organisasi.
Kasus Eiger pun, menurut saya juga menjadi "sentilan", walaupun lebih tepatnya "tamparan", bagi praktisi PR untuk lebih meningkatkan kapabilitas sehingga mampu memainkan peranan lebih strategis di organisasi.Â
Praktisi PR harus mampu menunjukkan dan membuktikan bahwa peran PR bukan semata sebagai "tukang foto" atau mengelola kegiatan seremonial belaka.
Fungsi PR saat ini sudah berkembang sedemikian pesatnya. Media sosial dan berbagai platform digital lainnya menuntut seorang PR harus bisa dan harus mau berubah dan berkembang agar dapat menyesuaikan dan menerapkan strategi komunikasi yang efektif dan efisien bagi organisasi.
Kasus Eiger, dapat dijadikan ajang pembuktian bagi PR dimanapun berkiprah untuk dapat menunjukkan ke manajemen puncak bahwa PR merupakan divisi atau unit kerja strategis di organisasi. Seorang PR harus mampu memberikan kontribusi positif bagi organisasi sehingga "suaranya" akan didengar oleh manajemen puncak.
Dari Eiger kita belajar, bahwa komunikasi merupakan bagian penting dalam sebuah organisasi. Komunikasi yang efektif akan menguatkan citra organisasi baik internal maupun eksternal. Sebaliknya, komunikasi yang tidak efektif akan menyeret organisasi ke pusaran krisis
Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H