Kasus Eiger, menurut saya seharusnya membuka mata para pihak yang saat ini berada di manajemen puncak khususnya di organisasi yang masih menganggap sepele peran PR, untuk melihat dan mengkaji kembali bagaimana komunikasi menjadi bagian penting dalam strategi organisasi mereka.Â
Percayalah, tidak ada satu organisasi pun yang siap menghadapi krisis, namun ketika sebuah organisasi sudah memiliki tim komunikasi yang handal, maka ketika krisis terjadi akan lebih mudah untuk memadamkan api yang berkobar. Karena tidak bisa dipungkiri, tim komunikasi lah yang akan berada di garda terdepan ketika krisis menghantam sebuah organisasi.
Kasus Eiger pun, menurut saya juga menjadi "sentilan", walaupun lebih tepatnya "tamparan", bagi praktisi PR untuk lebih meningkatkan kapabilitas sehingga mampu memainkan peranan lebih strategis di organisasi.Â
Praktisi PR harus mampu menunjukkan dan membuktikan bahwa peran PR bukan semata sebagai "tukang foto" atau mengelola kegiatan seremonial belaka.
Fungsi PR saat ini sudah berkembang sedemikian pesatnya. Media sosial dan berbagai platform digital lainnya menuntut seorang PR harus bisa dan harus mau berubah dan berkembang agar dapat menyesuaikan dan menerapkan strategi komunikasi yang efektif dan efisien bagi organisasi.
Kasus Eiger, dapat dijadikan ajang pembuktian bagi PR dimanapun berkiprah untuk dapat menunjukkan ke manajemen puncak bahwa PR merupakan divisi atau unit kerja strategis di organisasi. Seorang PR harus mampu memberikan kontribusi positif bagi organisasi sehingga "suaranya" akan didengar oleh manajemen puncak.
Dari Eiger kita belajar, bahwa komunikasi merupakan bagian penting dalam sebuah organisasi. Komunikasi yang efektif akan menguatkan citra organisasi baik internal maupun eksternal. Sebaliknya, komunikasi yang tidak efektif akan menyeret organisasi ke pusaran krisis
Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H