***
Jalanku menuju ke Tanah Suci berawal dari kisah perantauanku di Negeri Ginseng. Sekitar penghujung musim gugur beberapa tahun silam, aku bertemu Pak Idris, seorang warga Indonesia yang telah lama menetap di Jepang.Â
Oiya di awal aku belum menjelaskan bahwa aku dulu sempat bekerja di Korea Selatan selama empat tahun. Kunjungan Pak Idris ke Seoul saat itu untuk menawarkan jasa travel haji milik koleganya yang berkebangsaan Mesir kepada kaum muslim Indonesia di Korea.Â
Hal pertama yang menarik perhatianku dari sosok bertubuh kecil itu adalah gerak-geriknya yang menurutku terlalu renta untuk urusan marketing semacam itu. Meski tak dapat kupastikan, dari penampilannya kutaksir usia Pak Idris sudah mendekati tujuh puluh tahun saat itu.Â
Suatu hari Pak Idris menawariku untuk membantu pekerjaannya selama di Seoul, dan aku mengiyakan. Aku kenalkan dia dengan beberapa simpul komunitas muslim Indonesia di Korea. Dari sana dia mendapatkan banyak calon jamaah haji yang akan berangkat lewat perusahaan travelnya.Â
Suatu hari Pak Idris juga menawariku untuk ikut berangkat haji di tahun itu. Setelah bernegosiasi dengan perusahaan tempatku bekerja, juga mengintip kondisi dompetku saat itu, kusambut tawaran itu dengan kemantapan hati. Selangkah lagi mimpiku ke tanah suci akan mewujud. Kenyataan yang lebih dari sekedar indah, bahwa akhirnya aku menunaikan rukun Islam kelima itu dari Negeri Ginseng.Â
***
Aku tiba di Jeddah setelah menempuh penerbangan enam belas jam dari Bandara Incheon dengan transit di Istanbul. Udara Jeddah siang itu begitu menyengat, adaptasi yang tak mudah bagiku yang sehari sebelumnya masih bertarung dengan dinginnya Kota Seoul. Perbedaan suhu yang ekstrim membuat kondisi tubuh ini lemah.
Perjalanan dari Jeddah ke Makkah tak kalah melelahkan. Proses imigrasinya ruwet, perjalanan darat selepas keluar bandara sampai ke Makkah pun hampir memakan waktu semalam.Â
Esok harinya aku baru mencapai hotel tempatku menginap selama di Makkah. Beruntung aku mendapatkan penginapan yang tak begitu jauh, hanya selemparan batu dari Masjidil Haram.
Di sepanjang jalan menuju penginapan berjajar ruko yang menjual segala pernik barang. Sebagian penjualnya begitu fasih berbahasa Indonesia. Sesekali mereka mengucapkan kalimat sederhana yang selayaknya kita dengar dari pedagang di pasar Tanah Abang Jakarta.