Di sebuah mimbar Jumat, seorang khatib mengawali khotbahnya dengan sebuah pertanyaan;
Pernahkan kita menyadari betapa beruntungnya kita diciptakan oleh Allah sebagai seorang manusia?Â
Tentu saja pertanyaan itu retoris belaka, toh jama'ah memang tidak diperkenankan berbicara apalagi bertanya-jawab dengan khatib ketika khotbah Jum'at berlangsung,Â
Namun pertanyaan khatib itu setidaknya mampu menggugah saya dari rasa kantuk di waktu yang konon "most convenient time" untuk tidur itu.
Sambil mendengar penjelasan khatib tersebut, saya me-recall apa yang saya pernah pelajari dan menjawab dalam hati pertanyaan tersebut:
 "Ya, menjadi manusia itu istimewa."Â
Manusia diberi akal pikiran, dan dimuliakan oleh penciptanya. Manusia diberikan kemampuan untuk merasa, berpikir, berekspresi dengan cipta rasa dan panca indera yang sempurna.
Kalau kita sanggup merenung sebentar saja dan berpikir tentang keterjadian pada diri kita sendiri, niscaya kita akan tertegun dan tenggelam dalam ketakjuban betapa Allah telah menciptakan kita dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Ahsani taqwim, dalam bahasa Al Quran.Â
Mereka yang tidak bertafakur maka ia adalah golongan yang tidak akan naik kelas. Levelnya segitu-gitu aja. Begitu seorang guru pernah berkata. Manusia yang telah dikaruniai akal, maka bentuk wujud syukurnya adalah dengan menggunakannya secara optimal dan tidak melampaui batas.
Bahkan dalam setiap aktivitas harian, manusia itu sebenarnya selalu dituntut untuk terus berpikir. Dari apa yang kita pikirkan mulai bangun tidur di waktu pagi, sampai menutup hari di kala malam tiba. Semua aktivitas itu selalu melibatkan kesadaran kita.
Segala hal yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan, itu semua adalah serangkaian masukan yang diproses oleh akal dalam aktivitas berpikir kita. Sehingga hampir tidak ada kejadian yang kita jalani terlewat begitu saja tanpa melibatkan fungsi kognisi manusia. Dan itulah kenapa manusia itu istimewa dan berbeda dengan makhluk lain yang diciptakan Tuhan di jagat ini.
Dalam konteks religious service (ritual peribadatan) kemampuan bertafakur adalah tingkat ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah. Bahkan dalam ajaran tasawuf dijelaskan, barang siapa merenungi hikmah kebijaksanaan Ilahi dengan segala kesungguhan untuk mengenal Allah Yang Maha Tinggi, maka baginya nilai yang lebih baik daripada bertahun-tahun ibadah.
Jika dulu Descartes pernah berhasil menggugah orang untuk berpikir dan merubah cara pandang dunia dari abad pertengahan dengan kalimat "cogito ergo sum", maka sekarang kita boleh meminjam kata-kata ampuh itu  untuk memperbaiki kualitas diri kita sebagai manusia dengan sedikit memodifikasinya, "aku manusia maka aku berpikir".Â
Jika kita sanggup menggunakan potensi luar biasa yang Allah telah anugerahkan, maka dapat dikatakan bahwa eksistensi kita 'sebagai manusia' betul-betul ada.Â
Pun sebaliknya, jika seorang manusia enggan menggunakan daya pikirnya, dikatakan ia layak mendapat 'empat takbir' karena sejatinya ia telah mati.Â
Maka berpikirlah karena itu bentuk syukur yang terbaik karena Allah telah ciptakan kita sebagai manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H