Arus informasi pada saat ini semakin kecang seiring dengan perkembangan teknologi informasi, segala macam bentuk informasi di media sosial pun semakin beragam dan bisa dengan mudah kita jumpai. Tak terkecuali informasi tentang kampanye LGBT yang sengaja disebarkan oleh kelompok tertentu, sehingga menimbulkan bias di dalam kalangan masyarakat itu sendiri. Bias yang Saya maksud di sini yaitu, masyarakat dibuat bingung harus membela orientasi seksualnya, perilakunya, atau hak-nya. Di satu sisi, jika mereka membela hak kaum LGBT namun sikap serta perilaku kaum LGBT sendiri sudah melebihi batas, tentu akan menimbulkan stigma negatif dari orang yang tadinya membela hak-hak kaum LGBT.
Propaganda LGBT di Indonesia sendiri sudah berlangsung selama bertahun-tahun silam, dan semakin masif pada abad ini dengan kelompok pelopor seperti Indonesia Feminis dan Konde. Saya pun awalnya kagum dengan aspirasi dari akun indonesiafeminis, awalnya mereka sangat getol menyuarakan hak-hak perempuan, mengutuk ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan. Namun, beberapa waktu belakangan ini, akun indonesiafeminis dan konde(dot)co justru semakin gencar mempromosikan LGBT serta menyerang pendapat yang tidak sepemikiran dengan mereka. Alhasil, dengan adanya femonema seperti tadi, Saya pun melabelkan "Feminis Setengah Matang" kepada mereka.
Kenapa Feminis Setengah Matang?
Awalnya mereka menuntut kesetaraan antar gender, lalu mulai memprotes pilihan wanita lain yang memilih untuk patuh kepada suami dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Kemudian, mereka mulai sensitif dengan istri yang pintar memasak dan memamerkan hasil masakannya di media sosial. Katanya, wanita tak harus pintar memasak bahkan, menjadi seorang ibu tak harus menyusui. Ketika pendapat mereka ditentang, mereka selalu menggemborkan soal patriarki, misoginis, bla bla bla, dan bla bla bla.
Ketika mereka disodorkan fakta berupa sekelompok ibu-ibu di pedesaan yang sanggup berjalan belasan kilometer untuk mencari kayu, yang sanggup menggendong kayu, sekaligus menjadi ibu rumah tangga seperti pada umumnya, mereka langsung marah-marah dengan segala fafifu pembelaannya.
Nah, atas fenomena cacat logika seperti di ataslah yang akhirnya membuat Saya melabelkan "Feminis Setengah Matang", karena mereka akan menjadi "feminis" hanya berdasarkan sudut pandanganya saja. Sederhananya, mereka hanya melakukan yang mereka sukai dan memprotes hal-hal yang tidak mereka sukai.
Di sisi lain, jika mereka tidak bisa memasak, mereka bisa belajar bukannya malah membela diri dengan segala teori feminisme-nya. Dan jika mereka menolak untuk menyusui, bukankah mereka seharusnya tidak ada niatan untuk membuat keturunan? Karena, jika mereka sudah konsen dan niat untuk membuat keturunan, maka sudah menjadi kewajiban seorang ibu untuk menyusui bayinya. Kasus ini akan berbeda jika sang istri tidak bisa menghasilkan asi, maka ia diperbolehkan untuk memilih opsi susu formula. Nah yang paling sering dijadikan tameng yaitu, istri yang berkarir dianggap tidak wajib memberikan asi karena kesibukannya. Padahal, mau sesibuk apapun istri yang berkarir, tetap harus memberikan asi kepada bayinya karena itu sudah menjadi sebuah tanggung jawab sebagai seorang ibu, dan bayi pun berhak mendapatkan asi dari ibunya.
Propaganda Legalisasi LGBT di Indonesia
Akun instagram seperti indonesiafeminis dan konde(dot)co semakin lantang menyebarkan propaganda LGBT di Indonesia, dan ketika ada orang yang menentangnya, mereka menyebatkan "homophobia" kepada orang itu. Contohnya seperti pada kasus batalnya agenda LGBT se-Asean di Indonesia, kedua akun itu menyematkan label homophobia imbas batalnya acara itu. Saya sendiri pun menjadi salah satu yang menolak aksi itu, kenapa?
Indonesia terdiri banyak suku dan bangsa, dan tak menampik fakta bahwa ada beberapa suku di Indonesia yang sudah menerima eksistensi LGBT. Namun yang perlu menjadi perhatian yaitu, apakah suku yang "mengakui" LGBT setara dengan suku yang menolak? Jika jumlah penentang lebih banyak, tentu jumlah pendukung harus legowo dengan keputusan bersama. Lagi pula, sejak dulu eksistensi LGBT di Indonesia aman-aman saja sebelum munculnya akun indonesiafeminis dan konde, contohnya yaitu acara Srimulat dan beberapa film Warkop DKI.
Selain itu, masyarakat Indonesia masih sangat menghargai budaya, serta mayoritas rakyat lebih condong ke budaya ketimuran dengan Islam sebagai agama mayoritas. Fakta ini tentu tidak bisa ditampik, mau se-valid apapun argumen tentang hak hidup LGBT, jika keberadaannya sudah mengancam tatanan sosial maka harus bersedia untuk "kalah" melawan suara mayoritas.
Coba kalian perhatikan, propaganda LGBT yang erat dengan liberalisme justru telah menabrak norma-norma yang sudah sejak dulu ada dan berlangsung hingga saat ini. Dengan dalih "kebebasan berekspresi" kaum LGBT zaman now lebih arogan dalam menunjukan eksistensinya. Apalagi di Jakarta, saat ini sudah banyak sekali gender laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan, dengan gaya tubuh dan bicara yang seperti itu tentu membuat orang di sekitar mengerutkan dahi. Dan faktanya, orang yang seperti itu justru menjadi bahan rundungan baik verbal maupun non verbal oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Nah anehnya, beberapa cowok tulang lunak justru semakin senang jika "dilecehkan" oleh orang straight (laki-laki dan perempuan).
Peran LGBT dalam Kehidupan Sosial di Indonesia
Seperti yang sudah Saya sebutkan di atas, Srimulat dan Warkop DKI merupakan dua contoh hiburan yang sering menampilkan karakter serta adegan LGBT, namun hiburan itu tidak menuai kontroversi karena hanya sebatas pekerjaan. Zaman dulu, waria yang mengamen di lampu merah pun tidak menimbulkan keresahan. Nah, justru segala kegaduhan tentang LGBT dimulai oleh akun serta kelompok seperti indonesiafeminis dan konde(dot)co yang semakin masif menyebarkan paham LGBT dibalut dengan isu Hak Asasi Manusia.
Kalian bisa memperhatikan sendiri, keberadaan waria sebagai pengamen yang jauh dari ekspose media sosial, hidup mereka justru baik-baik saja walau tidak sepenuhnya. Keberadaan mereka pun bisa menjadi hiburan bagi orang lain, yang mana tidak ada kepentingan terselubung sedikitpun.
Contoh lain, pada acara pernikahan biasanya menghadirkan bintang tamu waria untuk menghibur, dan tamu yang hadir pun terlihat senang dengan hiburan yang mereka terima. Baik waria maupun tamu undangan, semuanya saling menikmati pertunjukan yang ada. Dalam dunia hiburan di televisi pun sama, contohnya almarhum Olga yang justru menjadi salah satu pelawak berkualitas di Indonesia dengan stigma LGBT-nya.
Fakta menarik yang lainnya tentang peran LGBT dalam kehidupan sosial di Indonesia yaitu, adanya bakti sosial oleh para waria di mana mereka peduli dengan orang yang tidak mampu. Ketika mereka melakukan baksos pun, tidak ada konflik yang terjadi di acara itu dan masyarakat pun menerima bantuan dari para waria dengan tanpa curiga.
Mimpi Basah LGBT di Indonesia
Jika berbicara soal hak, kuam LGBT di Indonesia tentu mempunyai hak yang sama. Nah yang jadi pertanyaan, "Bagaimana jika sudah diberi hak namun malah semakin ngelunjak?". Bahkan, banyak kasus asusila yang justru dilakukan oleh kaum LGBT untuk memenuhi hasrat biologisnya. Saya rasa sudah banyak sekali kasus pencabulan yang dilakukan oleh LGBT di Indonesia, dan aksi terkutuk itu akan menciptakan lingkaran setan karena korban suatu saat akan menjadi pelaku pencabulan.
Di luar sana ada banyak sekali gay yang mencari target anak kecil, dengan modus memberikan uang/jajan/mainan, anak-anak di bawah umur itu akan menjadi korban pencabulan. Dan yang lebih gila yaitu, aksi pencabulan itu direkam kemudia videonya disebarkan di media sosial atau grup-grup LGBT. Tak hanya anak kecil, pria dewasa pun tak luput dari jeratan kaum gay yang haus akan kebutuhan biologis.
Misalnya di aplikasi Telegram, di sana terdapat banyak video tentang seorang pria straight yang rela di-blow job oleh gay dengan imbalan uang, bahkan ada juga yang diberi imbalan sebungkus rokok. Ketika melakukan aksi itu pun, pihak gay merekam lalu menjualnya kepada sesama kaum LGBT. Mirisnya, ada juga yang sampai melakukan hubungan seksual sesama jenis dan videonya diperjual-belikan. Kasus yang dari kemarin sedang ramai dibicarakan yaitu tentang seorang guru (gay) paskibra yang memaksa 13 siswa untuk menyodominya, perbuatan tercela itu pun terbongkar setelah seorang siswa berani speak up.
Nah, melihat banyaknya tindakan asusila, pencabulan, serta hubungan seksual sesama jenis secara paksaan inilah yang membuat kami akhirnya muak. Kami yang tadinya mendukung pemberian hak kepada kaum LGBT, justru berbalik arah ketika melihat kasus pencabulan yang dilakukan oleh kaum LGBT. Memang benar, tindakan asusila tidak memandang gender, usia, suku, agama, mapun pendidikan. Namun tetap saja jika propaganda tuntutan hak bagi kaum LGBT digemborkan namun tidak dibarengi dengan sikap/tindakan yang baik bagi pengikutnya, tentu saja legalitas LGBT di Indonesia hanya sekedar "mimpi basah".
Jika kondisinya seperti tadi, siapa yang dirugikan? Tentu kaum LGBT yang taat hukum dan tidak berlebihan dalam aktivitas sosial. Dan yang lebih parahnya lagi, jika perbuatan asusila semakin marak terjadi, pengamen waria, pelawak serta artis pemeran LGBT juga akan mendapatkan imbas yang sama buruknya.
Hemat saya, daripada terus saja mengkampanyekan LGBT dan hak-haknya, alangkah lebih baiknya jika kaum LGBT diberikan edukasi terlebih dahulu agar tidak menimbulkan kerugian serta trauma bagi korbannya. Kenapa? Anak korban sodomi jika tidak didampingi, di masa yang akan datang justru akan menjadi pelaku dari tindakan asusila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H