Seorang youtuber lainnya bernama Tati Westbrook merasa sakit hati karena James mempromosikan produk saingan dari produk yang ia (Tati) promosikan.Â
Rasa sakit hati itu dilandasi karena Tati merasa punya andil dalam popularitas James di Youtube, sehingga Tati beranggapan bahwa James mengkhianati relasi di antara mereka.
Melalui kasus di atas dapat kita lihat bahwa, cancel culture bisa juga digunakan oleh mereka yang mempunyai kepentingan, sehingga orang yang sebenarnya menjadi korban "dipoles" oleh orang lain sebagai penjahat yang sesungguhnya.Â
Victim blaming inilah yang menjadikan cancel culture bak pisau bermata dua, pisau itu bisa digunakan untuk melindungi diri, namun bisa juga digunakan untuk menyakiti orang lain.
Cancel Culture, Yes or No? Both!
Pada kenyataannya cancel culture bisa dijadikan sebagai alat untuk melindungi diri, metode untuk mendapatkan keadilan, tapi bisa juga dijadikan senjata untuk melakukan kejahatan.Â
Maka dari itu, dalam menyikapi tren cancel culture kita harus objektif dalam menganalisa. Kalau semisal kasusnya seperti SJ, kita boleh mendukung pemboikotan itu, tapi ketika kasusnya masih abu-abu, bahkan orangnya tidak kita kenal sebelumnya, lebih baik kita mengamati terlebih dahulu sembari menunggu klarifikasi dari yang bersangkutan.
Di satu sisi, kita sangat membutuhkan cancel culture, tapi di sisi lainnya, cancel culture itu bisa menjadikan kita sebagai orang yang bersalah karena justru menyalahkan korban yang sesungguhnya.Â
Seperti halnya api pada lilin, api bisa menjadi teman kita terutama ketika lampu sedang padam, atau teman kita ketika sedang berulang tahun.Â
Namun api dapat menjadi ancaman sekaligus musuh kita, karena jika api itu terlalu besar dan tidak terkontrol, akan menyebabkan kebakaran.
Cancel Culture merupakan senjata yang mematikan, karena baik pelaku maupun korban fitnah, keduanya sama-sama akan mendapatkan tekanan mental.