Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Senjata Mematikan yang Bernama Cancel Culture

12 September 2021   19:28 Diperbarui: 12 September 2021   19:58 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bicara tentang cancel culture berarti berbicara tentang hukum sebab dan akibat, khususnya di media sosial. Namun yang belum banyak diketahui yaitu, dari mana asal istilah itu?

Sekilas Sejarah tentang Cancel Culture

Istilah "cancelling" berawal dari candaan (sindiran), yang kemudian menjadi populer pada kaum Afrika-Amerika di negeri Paman Sam, khususnya di twitter. 

"Candaan" yang seperti apa? Contohnya, "Kau ku'cancel', Aku sudah tidak tertarik lagi padamu." Candaan seperti inilah yang menjadi cikal bakal cancel culture, karena banyak yang memakainya, akhirnya populer dan menjadi sebuah budaya baru di media sosial.

Seiring berjalannya waktu, candaan itu berubah menjadi budaya yang ditujukan untuk memboikot artis maupun influencer. Contohnya kasus Saipul Jamil, yang bersangkutan mendapatkan cancel culture karena telah berbuat asusila kepada anak di bawah umur. 

Atas ulahnya itu, SJ diboikot oleh mayoritas masyarakat Indonesia agar tidak lagi muncul di televisi. Pemboikotan itu bisa diartikan sebagai konsekuensi atas perbuatan cabulnya, sehingga cancel culture jika ditempatkan pada kasus SJ, maka tindakan pemboikotan itu sudah tepat.

Peran Cancel Culture

Cancel culture sendiri bisa diartikan sebagai "wajah demokrasi" di sosial media, terutama yang berkaitan dengan isu sosial dalam melawan rasisme, intimidasi, provokasi, hingga berita hoax.

Ya, dalam bersosial media kita tidak hanya membutuhkan hukum yang dibuat oleh Pemerintah. Kita juga membutuhkan hukum kita sendiri dalam bersosial media, maka dari itulah cancel culture sering dimanfaatkan oleh mereka yang berposisi sebagai korban cyber crime untuk menuntut keadilan, atau hanya sekedar berbagi pengalaman buruk di media sosial.

Ketika masyarakat kita sudah tidak lagi percaya dengan instansi kepolisian (biasanya karena kasus tidak ada kejelasan), maka speak up di media sosial-lah yang dijadikan opsi terakhir untuk menuntut keadilan. 

Kemajuan teknologi informasi saat ini sangat berperan dalam budaya "cancelling" ini, karena dengan semakin terbukanya informasi, siapapun bisa dengan mudah mengakses isu-isu hangat di media sosial.

Artis yang Pernah Menerima Cancel Culture

Sebagai bahan informasi, Chrissy Teigen dikenal sebagai artis hollywood yang ketika berbicara asal nyeplos saja, tanpa filter, tanpa dipikir terlebih dahulu. 

Ia mendapatkan cancel culture setelah salah satu korban dari perundungan online yang ia lakukan berani untuk angkat bicara, sejak saat itulah netter Amerika mulai mencari jejak rekaman digital Chrissy dan akhirnya diangkat oleh media mainstream di sana.

Influencer lokal seperti Awkarin dan Lucinta Luna pun pernah mendapatkan aksi boikot dari netter, hal itu lantaran disebabkan oleh kontroversi yang mereka perbuat.

Ya, aksi cancel culture lebih banyak disebabkan oleh sebuah skandal yang dilakukan oleh orang populer. Maka dari itu, cancel culture bisa menjadi senjata untuk menuntut keadilan, namun bisa juga dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk mengambil keuntungan.

Namun jangan salah, cancel culture tidak hanya menimpa mereka yang punya "nama" di media sosial. Orang biasa seperti kita pun bisa mendapatkan cancel culture, apalagi saat ini jamannya serba viral. 

Sesuatu sekecil apapun jika terekam oleh kamera, rekaman itu bisa berbuah viral di media sosial, dan hal ini pun bisa menyebabkan dampak positif maupun negatif.

Cancel Culture Dijadikan Sebuah Senjata

Selain dampak positif terhadap keadilan, nyatanya cancel culture bisa memberikan dampak negatif terhadap korban, terutama korban fitnah.

Pada tahun 2019, youtuber terkenal James Charles kehilangan 3 juta pengikutnya di Youtube. Hal itu terjadi lantaran ia mempromosikan produk vitamin rambut yang tak lain adalah kompetitor dari produk lain, bagaimana hal itu bisa terjadi? 

Seorang youtuber lainnya bernama Tati Westbrook merasa sakit hati karena James mempromosikan produk saingan dari produk yang ia (Tati) promosikan. 

Rasa sakit hati itu dilandasi karena Tati merasa punya andil dalam popularitas James di Youtube, sehingga Tati beranggapan bahwa James mengkhianati relasi di antara mereka.

Melalui kasus di atas dapat kita lihat bahwa, cancel culture bisa juga digunakan oleh mereka yang mempunyai kepentingan, sehingga orang yang sebenarnya menjadi korban "dipoles" oleh orang lain sebagai penjahat yang sesungguhnya. 

Victim blaming inilah yang menjadikan cancel culture bak pisau bermata dua, pisau itu bisa digunakan untuk melindungi diri, namun bisa juga digunakan untuk menyakiti orang lain.

Cancel Culture, Yes or No? Both!

Pada kenyataannya cancel culture bisa dijadikan sebagai alat untuk melindungi diri, metode untuk mendapatkan keadilan, tapi bisa juga dijadikan senjata untuk melakukan kejahatan. 

Maka dari itu, dalam menyikapi tren cancel culture kita harus objektif dalam menganalisa. Kalau semisal kasusnya seperti SJ, kita boleh mendukung pemboikotan itu, tapi ketika kasusnya masih abu-abu, bahkan orangnya tidak kita kenal sebelumnya, lebih baik kita mengamati terlebih dahulu sembari menunggu klarifikasi dari yang bersangkutan.

Di satu sisi, kita sangat membutuhkan cancel culture, tapi di sisi lainnya, cancel culture itu bisa menjadikan kita sebagai orang yang bersalah karena justru menyalahkan korban yang sesungguhnya. 

Seperti halnya api pada lilin, api bisa menjadi teman kita terutama ketika lampu sedang padam, atau teman kita ketika sedang berulang tahun. 

Namun api dapat menjadi ancaman sekaligus musuh kita, karena jika api itu terlalu besar dan tidak terkontrol, akan menyebabkan kebakaran.

Cancel Culture merupakan senjata yang mematikan, karena baik pelaku maupun korban fitnah, keduanya sama-sama akan mendapatkan tekanan mental.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun