Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Belajar dari Pengalaman, Inilah Deretan Kasus Kecelakaan Alutsista di Indonesia

26 April 2021   20:41 Diperbarui: 26 April 2021   20:54 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia saat ini masih berduka atas karamnya kapal selam Nanggala 402 di perairan Bali, beberapa negara seperti Australia, Malaysia, Singapura, India, hingga Amerika Serikat ikut membantu proses pencarian kapal selam itu. Kabarnya, 3 bagian kapal telat ditemukan dan kapal itu berstatus On Eternal Patrol yang berarti patroli untuk selamanya (tidak akan kembali lagi).

Berdukanya Indonesia saat ini justru dimanfaatkan oleh beberapa "oknum" yang berkicau di media sosial, mereka membuat pernyataan yang justru semakin memperkeruh keadaan saat ini.

Sebuah akun anonim (@)SilumanRi di twitter berkicau bahwa, "ada dugaan pengiriman sinyal oleh Nanggala 402 terkait sabotase yang dilakukan oleh pihak asing, sehingga akun itu meminta KASAL untuk menganalisanya." Kicauan itu dibarengi dengan banyak spekulasi yang menjurus pada disinformasi, konspirasi, dan juga adu domba. Sungguh sebuah fenomena yang membuat Saya mengerutkan dahi.

Tangkapan Layar 1
Tangkapan Layar 1
Nah, masalah penyebab yang mengakibatkan Nanggala 402 karam, Saya mempunyai persepsi sendiri. Seperti yang kita ketahui bahwa, ada beberapa faktor penyebab bencana/musibah. 

Pertama yaitu faktor alam, kedua faktor human error, yang terakhir yaitu faktor teknis. Jika membaca dari berita yang beredar, kita bisa menganggap bahwa karamnya Nanggala diakibatkan oleh faktor teknis. Namun, faktor teknis yang seperti apa?

Menurut informasi yang Saya temukan, kapal selam Nanggala diproduksi pada tahun 1981 yang berarti usia kapal itu sudah 40 tahun. Bagaimana bisa usia setua itu diberikan izin untuk beroperasi? 

Sedangkan menurut keterangan KASAL TNI Yudo Margono, kapal itu sudah dilakukan docking di PT PAL sehingga masih layak untuk beroperasi. Namun menurut peneliti dari Research and Operations on Technology and Society, Riefqi Muna, Indonesia seharusnya lebih ketat dalam menggunakan alutsista yang sudah tua.

Tangkapan Layar 2
Tangkapan Layar 2
Menurut data yang Saya himpun, rata-rata penyebab kecelakaan pada alutsista milik TNI yaitu alutsista yang sudah berumur lebih dari 40 tahun. Pada 30 Juni 2015, pesawat Hercules C-130 yang membawa logistik menuju Pulau Natuna jatuh, menyebabkan 110 penumpang dan 12 awak meninggal dunia. Pesawat itu diproduksi pada tahun 1980. Pada 10 Februari 2016, Pesawat Super Tucano milik TNI AU buatan tahun 1983 jatuh di Malang saat latihan aerobatik, 2 pilot dan 2 warga meninggal dunia.

Berikutnya pada 8 Juli 2016, Helikopter Bell 205 A-1 buatan tahun 1976, jatuh di Yogyakarta saat mengamankan kunjungan Presiden Jokowi. Pada 24 November 2016, Helikopter Bell 412 EP buatan tahun 1979 jatuh di Kalimantan Utara. 18 Desember 2016, Hercules Bell C-130 H5 milik TNI AU buatan tahun 1958 jatuh dan menabrak gunung Pugima di Papua.

Pada 2018, KRI Pulau Racung buatan tahun 1979, tenggelam di perairan Papua Barat. Pada 6 Juni 2020, Helikopter MI-17 buatan tahun 1975 jatuh di Kendal saat latihan. 15 Juni 202, Jet BAE Hawk 209 milik TNI AU jatuh di Pekanbaru, sedangkan pesawat itu diproduksi oleh Britania Raya pada tahun 1974.

Tangkapan Layar 3
Tangkapan Layar 3
Banyaknya kasus kapal tenggelam maupun pesawat yang jatuh, seharusnya bisa membuat pihak TNI AD, AL, AU dan juga Kementerian Pertahanan belajar dari pengalaman, bahwa usia produksi alutsista yang sudah tua harus dimonitor dengan sangat teliti. 

Audit pun layak dilakukan guna menghindari musibah yang sama. Sedangkan kita sebagai orang awam, jangan mudah berspekulasi tanpa data yang jelas, terlebih terpancing oleh kicauan akun anonim di media sosial yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Apa yang kita terima di media sosial harus kita olah dengan teliti, jangan sampai terpancing oleh satu argumen yang dirasa cocok dengan persepsi kita, lantas mengabaikan fakta lain yang berseberangan dengan kita. Jangan sampai negara ini semakin tertinggal sumber daya manusianya, hanya karena segelintir opini yang belum teruji validitasnya.

Tangkapan Layar 4
Tangkapan Layar 4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun