Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

2 WNI Jadi Buronan FBI, Harus Bangga atau Malu?

16 April 2021   18:35 Diperbarui: 16 April 2021   18:37 1751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar via CNN Indonesia

Kabar mengejutkan datang dari 2 WNI yang menjadi buronan FBI, karena telah melakukan tindakan scamming di Amerika Serikat terkait bantuan sosial Covid 19. Kedua WNI itu berasal dari Jawa Timur, yang sudah meraup untung sebesar 60 juta USD atau sekitar 830 miliar rupiah. 

Modus yang mereka lakukan masih sama dengan kasus scamming lain, yaitu dengan mengirimkan sms beserta link kepada warga Amerika, sehingga diperoleh data sekitar 30 ribu. 

Dengan data sebanyak itu, keduanya mengklaim bantuan sosial dari pemerintah Amerika Serikat, dan aksinya pun berlangsung sejak bulan Mei tahun 2020.

Keduanya saat ini sudah diringkus oleh Polda Jawa Timur yang juga diawasi oleh FBI, mereka juga dijatuhi hukuman penjara selama 9 tahun. Fokus tulisan kali ini bukan pada kasus di atas, melainkan kepada para netizen yang ikut mengomentari kriminal itu. Rata-rata warganet yang Saya pantau di berbagai macam akun instagram, mereka justru bangga dengan 2 WNI yang dianggap sebagai hacker.

Kesalahan berpikir yang pertama yaitu, mereka bukanlah hacker tetapi penjahat dengan modus scamming. Hacker setahu Saya tidak meretas untuk menipu, apalagi hasil tipuannya dinikmati sendiri. 

Kasus scamming ini biasa kita temui sehari-hari, misal jika ada sms masuk dari nomor tidak dikenal berupa tawaran yang disertai dengan link, bisa dipastikan bahwa itu adalah modus kejahatan scamming. Biasanya sms seperti itu berisi tentang pinjaman online, program pra kerja, atau bantuan sosial seputar covid 19.

Modus scamming tidak hanya berupa sms, ada juga via telepon yang biasanya memberitahukan soal hadiah, ada juga yang mengaku dari perusahaan terkemuka yang menyuruh korbannya untuk memberikan kode otp yang sudah dikirim melalui sms. Semua itu merupakan modus kejahatan scamming, tidak berbeda dengan 2 WNI yang menjadi buronan FBI.

Pada bulan maret tahun 2018, polisi berhasil mengamankan seorang warga negara Bulgaria setelah seorang satpam menciduk WNA yang hendak mengambil uang di ATM milik nasabah yang datanya sudah dicuri. Dari hasil pengembangan, polisi berhasil mengamankan tiga pelaku lain warga negara Bulgaria, Chile, dan Taiwan.

Dari kasus di atas sudah dapat disimpulkan, bahwa kejahatan dengan modus scamming memang menjadi musuh banyak negara. Maka dari itu, sikap warganet kepada 2 WNI yang melakukan kejahatan scamming di Amerika Serikat adalah hal yang teramat salah.

Kesalahan berpikir yang kedua yaitu, ada beberapa warganet yang berkata "yang penting bukan uang warga negara Indonesia yang dicuri." Dari komentar barusan menandakan bahwa betapa cacatnya logika orang itu, padahal uang WNI pun banyak yang raib digondol WNA dengan menggunakan modus scamming.

Sungguh sangat disayangkan, karena komentar yang 'membanggakan' datang dari warga negara Indonesia atas kejahatan scamming oleh WNI yang dilakukan di Amerika Serikat. Jika kondisi terus saja seperti ini, tentu kualitas SDM negara kita akan semakin kalah bersaing dengan negara lain. 

Imbas kesesatan berpikir yang demikian juga merambah ke kasus lain, contoh seperti kasus pasangan gay di Thailand yang kemarin viral. Apa hak kita mencampuri urusan pribadi orang lain, terlebih orang itu adalah warga negara asing? Imbasnya pun banyak, ada pekerja Indonesia yang dipulangkan paksa dari Thailand, ada calon mahasiswa/i yang terancam tidak bisa kuliah di sana, ada juga seruan boikot wisatawan asal Indonesia.

Negara ini akan hancur dengan sendiri jika kualitas sumber daya manusianya di bawah standar, bahkan, akan lebih banyak warga asing di kemudian hari yang semakin meremehkan Indonesia, hanya karena ulah warganet yang mempunyai kesalahan dalam berpikir.

Sedangkan kesalahan berpikir yang terakhir adalah, ada beberapa warganet yang berkata bahwa kedua WNI itu seharusnya mendapatkan pekerjaan yang selaras dengan kemampuan "maling"nya. Jika ada orang beranggapan demikian, orang itu wajib untuk dididik ulang. 

Bagaimana bisa sebuah perusahaan mempekerjakan seorang maling (scammer)?, Sudah teramat jelas bahwa seorang scammer dan hacker adalah dua orang yang berbeda. 

Jika ada seorang hacker yang membobol sistem keamanan lain seperti merubah koordinat sebuah satelit, hacker itu wajib untuk digali bakatnya, bisa juga dipekerjakan pada bagian IT. Namun seorang scammer? Mereka penjahat, merugikan orang lain secara materi, mereka juga menjadi musuh utama perusahaan e-commerce, untuk apa dipekerjakan? Sudah selayaknya mereka dipenjara atas kejahatan yang telah diperbuat.

Kasus 2 WNI yang menjadi scammer di Amerika Serikat seharusnya tidak membuat kita menjadi bangga, tetapi malu. Karena yang mereka lakukan adalah sebuah kejahatan, dengan tertangkapnya dua pelaku tadi otomatis membuat nama negara Indonesia kembali tercoreng.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun