Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Spiritual Bonding: Episode 2 Karsa

7 Desember 2020   07:44 Diperbarui: 7 Desember 2020   08:01 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Hara Nirankara

Dion, salah satu teman baikku yang menawariku sebuah pekerjaan. Kami berteman sudah sejak kami kecil, bahkan kami sudah seperti saudara kandung. Dia mengajariku banyak hal, terutama untuk berjuang. Nasibnya tak jauh berbeda dariku, cuman dia lebih beruntung masih mempunyai ibu walau ditinggal ayahnya cerai sejak usianya 14 tahun.

Saat ini usiaku sudah 20 tahun, sebenarnya Aku risih untuk melakukan pekerjaan ini, tetapi keadaan yang memaksaku agar Altair bisa terus bersekolah, yang saat ini ia sudah semester 2. Pekerjaan ini yang akhirnya membuatku bisa memiliki tempat tinggal layak, walau masih berstatus sewa. Rumah bibi Aku wakafkan kepada masyarakat setempat, karena Aku tidak mempunyai biaya untuk memperbaiki rumah itu yang kini sudah rubuh.

Terkadang merasa lelah, ketika harus melayani nafsu para pelanggan. Mereka kebanyakan wanita berkepala 4, janda, dan juga istri yang jarang mendapatkan kenikmatan dari suaminya. Namun lagi-lagi Aku harus sadar, rasa lelah ini jangan sampai membuat Altair berhenti mengenyam pendidikan.

Di kos

Dion tiba-tiba ada di sebelahku yang sedang tertidur lelap, saat itu pukul 2 siang. "[Menampar pantatku beberapa kali] Bangun njing!", ucapnya. Aku yang melihat Dion tiba-tiba yang duduk di sebelahku, tidak lagi kaget karena dia sudah biasa melakukan hal itu. Masuk tanpa permisi, terkadang membuka lemari pakaian dan meminjam bajuku, terkadang juga memakan makananku tanpa Aku tawari. 

Dengan nyawa yang belum sepenuhya terkumpul, Aku menanyakan maksud kedatangan Dion. Katanya, dia butuh uang 2 juta untuk membeli hadiah untuk kekasihnya. "Ambilin dompet gua nyet di saku celana [menunjuk celana yang Aku gantung di belakang pintu kamar]", suruhku. "[mengambilkan dompet, memberikannya kepadaku] Ini bos dompet lu", ucapnya. "[mengambil kartu atm, memberikannya kepada Dion] Pinnya 666666, awas lu kalo ambil lebih", Aku menyuruh Dion untuk mengambil uangnya sendiri di atm, kepercayaanlah yang membuat kami sudah sama-sama terbuka. Dion yang kegirangan lantas menyubit kedua putingku sambil berkata, "Makasih bos! Jadi tambah sayang gua sama lu Kay". Aku yang masih ngantuk menimpali omongan Dion, "Bacod celeng".

Tak lama kemudian Altair masuk ke dalam kamar dengan handuk yang menutupi tubuhnya, "Wuihhh adek gua makin ganteng aja nih. [Mengendus badan Altair] Wangi banget lu, mau ke mana?", tanya Dion kepada Altair. "Kuliah bos biar ga goblok kayak elu", respon Altair. Aku yang mendengar jawaban Altair hanya bisa tertawa. Ya, Altair juga dekat dengan Dion, mereka terbiasa bercanda. Kedekatan Dion dan Altair sangat membantuku, setidaknya Dion bisa menggantikan posisiku sebagai seorang kakak bagi Altair. "Yeee, gua cipok lu", ucap Dion yang kemudian bergegas pergi menuju mesin atm.

Aku yang sudah kepalang bangun karena Dion, lantas mengecek hp dan membuka aplikasi dating, yang mungkin saja ada pelanggan yang ingin memakai jasaku. Namun sayangnya tidak ada pesan masuk, sepertinya hari ini tidak ada pelanggan.

"[Menyulut rokok] Berangkat siang lu, Ta?", tanyaku. "[Menutup pintu, melepaskan handuk, membuka lemari baju] Iya kak, satu matkul doang", jawabnya. "[Mencari sesuatu] Liat sempak Alta yang warna biru dongker gak, Kak?", lanjutnya. "Gua taruh di rak paling bawah", jawabku. "[Memakai sempak] Kemeja slim fit punya Alta mana?", tanyanya. "Dipakai Dion tadi", jawabku. "Sial", responnya.

[Tiba-tiba ada chat masuk di aplikasi dating] "[Membuka pesan] Gua kayaknya pulang besok pagi Ta, ada job ntar malem", kataku. Altair yang sudah terbiasa dengan pekerjaanku hanya bisa diam, sedangkan dia belum mengetahui kalau Aku bekerja sebagai lonte pria. "[Memakai tas] Alta berangkat dulu ya", ucapnya. "Take care", ucapku.

Eksekusi

Malam ini Aku sudah berada di hotel sakura, tempat di mana Aku akan bersenggama dengan Siska, ibu satu anak yang suaminya sering ke luar kota karena urusan pekerjaan. Siska sudah menungguku di kamar 204, dan Aku pun langsung masuk ke kamar. Siska ini umurnya masih 29 tahun, parasnya lumayan cantik, body-nya juga lumayan. Rambutnya hitam sebahu, menggunakan dres berwarna merah muda. Sekilas Aku lihat, Siska tidak memakai bra dan celana dalam. Lekuk tubuhnya bisa Aku lihat dengan mudah.

"[Menjabat tanganku] Siska, came in [disertai dengan senyuman manis]", ucapnya. "Kay, nice to meet You", responku.

Siska mempersilahkanku untuk duduk, lalu ia menuangkan wiski untukku. Dia berkata kalau Aku masih muda, penampakanku sesuai dengan foto yang Aku kirimkan. Siska semakin terpesona kepadaku setelah menyiumi badanku yang wangi, "Gila, sesuai ekspektasi kamu, Kay", ucapnya. Aku hanya bisa tersenyum dan meminum secangkir wiski yang sudah Aku pegang. Siska kemudian meminta nomer rekeningku dan mentransfer uang sesuai kesepakatan, 3 juta rupiah untuk long service.

Setelah puas berkenalan, Siska mulai melepaskan kain yang menempel di tubuhnya, sedangkan Aku masih duduk di sofa. Aku lihat kedua benjolan itu terasa menggoda dengan warna hitam yang sedikit merah pada dua jalan keluar air asinya, kulitnya bersih dengan hutan yang tidak terlalu lebat di tubuh bagian yang agak ke bawah. Ia mendekatiku, duduk di atas pahaku, menikmati seni yang katanya mempesona dari wajahku. Siska memainkan tangannya yang menggerayangi tubuhnya sendiri, kemudian mempertemukan mulutnya dengan mulutku, melumat salah satu panca inderaku dengan sempurna.

Siska melucuti semua yang menempel di badanku, sedangkan tanganku mengembara sehingga membuatnya mendesah. Malam ini adalah malam seperti malam-malam sebelumnya, di mana Aku memperkasai wanita yang tengah kesepian. Profesionalitas disertai perfeksionis adalah nilai jualku, sehingga pelanggan mendapatkan kepuasan sesuai dengan keinginannya. Keringat yang mengucur deras di kulitku, jeritan-jeritan nakal yang keluar dari suara terdalam Siska, dan juga gigitan-gigitan semut tercipta malam ini. Aku bekerja dengan sangat keras, mencoba mengimbangi keganasan dari permainan yang dilakukan oleh Siska.

"Ah, senjatamu mentok Kay. Lanjutkan!", ucapnya.

Aku terus saja bekerja, kutatapi wajah manis siska, dan berakhirlah permainan kami.

"[Terkapar di atas tubuh Siska] How? Puas?", tanyaku. Siska hanya bisa menganggukkan kepalanya sembari tersenyum, kemudian Aku mengeluarkan senjata biologis dari sangkar yang rumputnya tidak terlalu lebat itu. Siska terus saja menggodaku agar melanjutkan permainan, tetapi Aku tidak sanggup. 52 menit bermain membuat nafasku terenga-enga, keringat yang Aku hasilkan pun, terlihat sangat banyak.

Setelah dirasa cukup beristirahat, Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Sedangkan Siska masih setia menungguku di atas ranjang. Setelah selesai membersihkan badan, Aku langsung menghampiri Siska dan mengecup keningnya. "Jadi, kapan kita akan bermain lagi, sayang?", tanya Siska. "[membaringkan tubuh di atas ranjang] Nanti pas adzan subuh berkumandang", jawabku. Aku pun memejamkan mata, sedangkan tangan Siska masih saja nakal dengan menelusuri setiap inchi tubuhku, memainkan senjata andalanku. Dan ya, permainan kita lanjutkan ketika adzan subuh berkumandang. Karena bagiku, pukul 4:30 pagi adalah masa di mana libidoku mulai memberontak.

Permainan Selesai

Setelah berpamitan dengan Siska, Aku bergegas kembali ke kos. Siska berkata kalau dia puas dengan layanan yang Aku berikan, sehingga ia berencana untuk memakai jasaku lagi suatu saat. Ya, rata-rata pelangganku mengatakan hal yang sama.

Motor RX King Cobra yang dimodifikasi oleh Dion adalah satu-satunya kendaraan yang Aku miliki, sedangkan Altair biasa dijemput oleh temannya ketika akan berangkat kuliah. Motor jadul buatan tahun 1994 ini adalah hasil dari pekerjaan yang dianggap haram oleh orang beragama, namun Aku tidak terlalu memikirkan penilaian itu.

Hmmmm, hari ini Aku mengendarai motor dengan ekspresi wajah yang bahagia. Bagaimana tidak? 3 juta rupiah bisa Aku hasilkan dalam waktu semalam. Perjalanan pulang kali ini terasa begitu istimewa, suasananya juga sejuk, seolah ikut merayakan suasana hatiku yang sedang bahagia. Aku lihat banyak orang berlari ringan, anak-anak kecil bermain bola, pedagang kaki lima yang tengah sibuk melayani pembeli. Aku pun memutuskan untuk berhenti sebentar, menyantap bubur kacang ijo buatan Pak Adam. "Pagi pak. Biasa ya, pak", ucapku yang kemudian duduk di kursi plastik. "Siap mas, yang dibungkus juga biasa?", tanyanya. "Yuhuuu", jawabku.

Aku suka sekali makan bubur kacang ijo di sini. Selain rasanya enak, terdapat aura kegembiraan di sini dari anak-anak yang sedang bermain.

Entah kenapa Aku suka sekali ketika melihat anak kecil bermain bersama teman-temannya, tertawa bersama, terkadang berantem. Pemandangan seperti itu jarang Aku rasakan ketika kecil, sehingga ketika melihat mereka bermain bersama, Aku ikut merasakan kebahagiaan. Kebetulan Aku kenal dengan dua anak yang sedang bermain itu, namanya Bintang dan Intan, si anak kembar berusia 11 tahun. Aku pun memanggil mereka dan mengajaknya untuk makan bubur bersama. 

Mereka lucu, yang cowok kulitnya sawo, yang cewek kulitnya putih. Rambut Intan mengingatkanku kepada Ema, teman sekolahku dulu. Terkadang Aku mentraktir mereka bubur kacang ijo, terkadang memberi mereka uang untuk jajan. Aku tahu mereka dari keluarga yang kurang mampu, dan hanya itu yang Aku bisa berikan untuk membuat mereka merasa senang.

Setelah sampai di kos, Aku membangunkan Alta yang sedang tidur untuk lekas menyantap bubur kacang ijo yang Aku beli. "[Mengusap rambutnya] Wake up my lil bro", ucapku. "[Membaringkan tubuh di kasur] Bangun Ta, Kay bawain bubur kacang ijo tuh", lanjutku. Dia pun akhirnya bangun, tapi nyawanya belum sepenuhnya terkumpul. "[Memandangiku] Wait a moment", jawabnya. "[Membuka dompet, memberikan kartu atm] Ntar ambil 2 juta, buat bayar tunggakan kuliahmu", ucapku. "[Menerima kartu atm] Katanya gak punya uang?", tanya Altair. "Kay abis kerja kan semaleman? Itu buat kamu bayar kuliah", jawabku. "Kay capek banget, ntar kalau mau keluar pintunya kunci aja", lanjutku.

Altair yang melihatku kelelahan, ia bangun dari tempat tidurnya dan memijiti kakiku, tanganku, dan juga kepalaku. Aku hanya bisa tersenyum melihat perhatian yang diberikan oleh Altair. "Lu kerja apaan sih kak?", tanyanya. Aku tidak berani menjawab pertanyaan yang mengerikan itu, karena Aku tidak ingin Altair membenciku jika tahu kalau Aku bekerja sebagai pelacur pria. "Nanti suatu saat Kay bakal kasih tau, tunggu saat yang tepat", jawabku. Pijitan Altair terasa enak, tak terasa Aku tertidur dengan cepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun