Siska mempersilahkanku untuk duduk, lalu ia menuangkan wiski untukku. Dia berkata kalau Aku masih muda, penampakanku sesuai dengan foto yang Aku kirimkan. Siska semakin terpesona kepadaku setelah menyiumi badanku yang wangi, "Gila, sesuai ekspektasi kamu, Kay", ucapnya. Aku hanya bisa tersenyum dan meminum secangkir wiski yang sudah Aku pegang. Siska kemudian meminta nomer rekeningku dan mentransfer uang sesuai kesepakatan, 3 juta rupiah untuk long service.
Setelah puas berkenalan, Siska mulai melepaskan kain yang menempel di tubuhnya, sedangkan Aku masih duduk di sofa. Aku lihat kedua benjolan itu terasa menggoda dengan warna hitam yang sedikit merah pada dua jalan keluar air asinya, kulitnya bersih dengan hutan yang tidak terlalu lebat di tubuh bagian yang agak ke bawah. Ia mendekatiku, duduk di atas pahaku, menikmati seni yang katanya mempesona dari wajahku. Siska memainkan tangannya yang menggerayangi tubuhnya sendiri, kemudian mempertemukan mulutnya dengan mulutku, melumat salah satu panca inderaku dengan sempurna.
Siska melucuti semua yang menempel di badanku, sedangkan tanganku mengembara sehingga membuatnya mendesah. Malam ini adalah malam seperti malam-malam sebelumnya, di mana Aku memperkasai wanita yang tengah kesepian. Profesionalitas disertai perfeksionis adalah nilai jualku, sehingga pelanggan mendapatkan kepuasan sesuai dengan keinginannya. Keringat yang mengucur deras di kulitku, jeritan-jeritan nakal yang keluar dari suara terdalam Siska, dan juga gigitan-gigitan semut tercipta malam ini. Aku bekerja dengan sangat keras, mencoba mengimbangi keganasan dari permainan yang dilakukan oleh Siska.
"Ah, senjatamu mentok Kay. Lanjutkan!", ucapnya.
Aku terus saja bekerja, kutatapi wajah manis siska, dan berakhirlah permainan kami.
"[Terkapar di atas tubuh Siska] How? Puas?", tanyaku. Siska hanya bisa menganggukkan kepalanya sembari tersenyum, kemudian Aku mengeluarkan senjata biologis dari sangkar yang rumputnya tidak terlalu lebat itu. Siska terus saja menggodaku agar melanjutkan permainan, tetapi Aku tidak sanggup. 52 menit bermain membuat nafasku terenga-enga, keringat yang Aku hasilkan pun, terlihat sangat banyak.
Setelah dirasa cukup beristirahat, Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Sedangkan Siska masih setia menungguku di atas ranjang. Setelah selesai membersihkan badan, Aku langsung menghampiri Siska dan mengecup keningnya. "Jadi, kapan kita akan bermain lagi, sayang?", tanya Siska. "[membaringkan tubuh di atas ranjang] Nanti pas adzan subuh berkumandang", jawabku. Aku pun memejamkan mata, sedangkan tangan Siska masih saja nakal dengan menelusuri setiap inchi tubuhku, memainkan senjata andalanku. Dan ya, permainan kita lanjutkan ketika adzan subuh berkumandang. Karena bagiku, pukul 4:30 pagi adalah masa di mana libidoku mulai memberontak.
Permainan Selesai
Setelah berpamitan dengan Siska, Aku bergegas kembali ke kos. Siska berkata kalau dia puas dengan layanan yang Aku berikan, sehingga ia berencana untuk memakai jasaku lagi suatu saat. Ya, rata-rata pelangganku mengatakan hal yang sama.
Motor RX King Cobra yang dimodifikasi oleh Dion adalah satu-satunya kendaraan yang Aku miliki, sedangkan Altair biasa dijemput oleh temannya ketika akan berangkat kuliah. Motor jadul buatan tahun 1994 ini adalah hasil dari pekerjaan yang dianggap haram oleh orang beragama, namun Aku tidak terlalu memikirkan penilaian itu.
Hmmmm, hari ini Aku mengendarai motor dengan ekspresi wajah yang bahagia. Bagaimana tidak? 3 juta rupiah bisa Aku hasilkan dalam waktu semalam. Perjalanan pulang kali ini terasa begitu istimewa, suasananya juga sejuk, seolah ikut merayakan suasana hatiku yang sedang bahagia. Aku lihat banyak orang berlari ringan, anak-anak kecil bermain bola, pedagang kaki lima yang tengah sibuk melayani pembeli. Aku pun memutuskan untuk berhenti sebentar, menyantap bubur kacang ijo buatan Pak Adam. "Pagi pak. Biasa ya, pak", ucapku yang kemudian duduk di kursi plastik. "Siap mas, yang dibungkus juga biasa?", tanyanya. "Yuhuuu", jawabku.
Aku suka sekali makan bubur kacang ijo di sini. Selain rasanya enak, terdapat aura kegembiraan di sini dari anak-anak yang sedang bermain.
Entah kenapa Aku suka sekali ketika melihat anak kecil bermain bersama teman-temannya, tertawa bersama, terkadang berantem. Pemandangan seperti itu jarang Aku rasakan ketika kecil, sehingga ketika melihat mereka bermain bersama, Aku ikut merasakan kebahagiaan. Kebetulan Aku kenal dengan dua anak yang sedang bermain itu, namanya Bintang dan Intan, si anak kembar berusia 11 tahun. Aku pun memanggil mereka dan mengajaknya untuk makan bubur bersama.Â
Mereka lucu, yang cowok kulitnya sawo, yang cewek kulitnya putih. Rambut Intan mengingatkanku kepada Ema, teman sekolahku dulu. Terkadang Aku mentraktir mereka bubur kacang ijo, terkadang memberi mereka uang untuk jajan. Aku tahu mereka dari keluarga yang kurang mampu, dan hanya itu yang Aku bisa berikan untuk membuat mereka merasa senang.