Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sisi Lain: Guru dan Pelanggaran HAM kepada Murid

28 November 2020   23:43 Diperbarui: 29 November 2020   00:03 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: law-justice

"Mungkin akan ada beberapa pihak yang mispersepsi dengan tulisan Saya kali ini, namun dapat Saya maklumi jika nantinya akan ada pihak yang kontra karena profesi yang mereka jalani. Atau mungkin, hanya spekulasi sepihak dari Saya saja. Namun yang jelas, tulisan kali ini bersifat koreksi yang berkaitan dengan profesi mereka."

Saya ingin membahas sosok guru, tapi bukan dalam arti sempit. Definisi guru secara umum adalah, seorang pengajar dalam masa anak usia dini melalui pendidikan formal secara berjenjang.

Kita mengenal istilah guru, adalah mereka yang berprofesi sebagai tenaga pendidik di sekolah, yang berstatus pns maupun honorer. Namun, jika kita mengkaji lebih dalam, mereka yang disebut dengan guru bukan hanya yang berada di sekolah. Tenaga didik ngaji, orang-orang yang mempunyai kapasitas maupun kapabilitias yang mumpuni, juga bisa disebut dengan istilah guru.

Maka dari itu, tidak seharusnya kita mempersempit definisi seorang guru, bahwa seorang guru adalah mereka yang mengajar di sekolah formal saja.

Lalu, apa sih yang ingin Saya sampaikan dalam tulisan kali ini? Yaitu yang berkaitan dengan pelanggaran HAM, yang dilakukan oleh "oknum" guru kepada muridnya. Namun yang jadi catatan, seperti yang sudah Saya jelaskan di atas, bahwa guru yang Saya maksud adalah guru dalam arti luas.

Dalam sebuah pertemuan kelas, terkadang ada saja guru yang membeda-bedakan para siswa/i-nya. Seorang guru bahkan terlihat pro kepada siswa/i yang pintar, kaya, ganteng/cantik dan kontra bahkan mendiskriminasi siswa/i yang "kurang pintar", miskin, "berpenampilan" lusuh hingga menjadikan siswa/i tersebut sebagai objek bullying oleh sang guru. Dan anehnya, ketika siswa/i tersebut menjadi objek bullying dari sang guru, teman-teman satu kelasnya ikut menertawakan.

Kasus di atas sering terjadi, dan dapat kita temui di mana saja, tidak hanya dalam lingkup sekolah formal. Kejadian yang sungguh disayangkan memang, ketika ada seorang guru yang justru mempraktekkan bullying secara langsung di depan muridnya. Ironi? Benar. Namun itulah fenomena yang hingga saat ini masih terjadi, yang justru semakin membuat kualitas pendidikan di Indonesia tertinggal dari negara lain.

Sewaktu berada di sekolah dasar, Saya pernah mengalami kejadian itu. Rasanya menyedihkan, namun mau tidak mau, Saya harus berpura-pura menerimanya dengan senyum serta tawa. Melawan? Ingin, tapi Saya masih kecil, belum ada keberanian dalam diri Saya waktu itu.

Traumatik yang Saya alami di sekolah dasar, berimbas terhadap sikap Saya ketika memasuki sekolah menengah pertama. Saya banyak diam, dan memilih untuk diam karena Saya tidak mau mendapatkan perlakuan yang sama seperti ketika masih di sekolah dasar. Namun bullying justru datang dari teman-teman Saya. Sedangkan guru? Saya tidak merasakan diskriminasi dari mereka.

Memasuki sekolah menengah atas hingga perguruan tinggi, Saya justru menjadi salah satu murid kesayangan. Hal itu tentunya patut Saya syukuri. Namun, ketika melihat teman-teman Saya mendapatkan perlakuan diskriminatif, Saya merasakan kesedihan. Karena memang pada faktanya, Saya pernah berada di posisi mereka yang mendapatkan diskriminasi ataupun bullying dari oknum guru.

Sikap dualitas yang dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya yang dianggap sebagai anak emas, hanya karena orang tua dari sang murid merupakan teman baiknya atau, sang murid merupakan keponakan dari guru tersebut, juga banyak terjadi. 

Profesionalitas guru dalam kasus tersebut, sangat Saya dipertanyakan. Bagaimana bisa seorang guru mempunyai dualitas kepada muridnya? Kepuasan apa yang ia capai, sehingga bisa menjadikan murid yang "bukan anak" sebagai objek bullying?

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh guru tampaknya menjadi suatu budaya yang telah mengakar, karena sampai hari ini kasus-kasus seperti yang sudah Saya sebutkan, masih saja terjadi di Indonesia.

Seorang guru yang seharusnya bisa memberi contoh yang baik, justru berperilaku sebaliknya dalam kasus-kasus di atas. Tidak heran, jika pada sebuah kelas akan ada label, "anak emas" dan "anak tiri" bagi sang guru atau sesama murid.

Apakah hal itu adil? Bukankah setiap siswa/i juga berhak mendapatkan perlakuan yang sama dari guru-gurunya? Jika hal seperti kasus-kasus tadi terus saja terjadi, tidak menutup kemungkinan akan terjadi ketimpangan kelas sosial di dalam kelas, bahkan fenomena "geng" di lingkungan sekolah, masih tetap eksis hingga hari ini.

Pada 11 April 2017, seorang siswi SMK tewas setelah dirawat di rumah sakit selama 9 hari, akibat meminum racun lantaran diintimidasi oleh gurunya. Intimidasi itu bermula ketika siswi yang berinisial AN dan tiga orang temannya, melayangkan protes kepada salah satu guru yang berinsial E, lantaran memberikan kunci jawaban Ujian Nasional Berbasis Komputer kepada anaknya yang bersekolah di sekolah yang sama dengan AN. Tak tanggung-tanggung, AN diinterogasi oleh BK dan diancam akan memenjarakannya. Simak berita selengkapnya di sini.

Mungkin di antara kita masih ada yang ingat tentang seorang siswi yang meminum racun akibat tidak tahan mendapatkan perundungan dari gurunya? Pada Agustus 2017, siswi SMP itu berinisal FK, di Kabupaten Lembata, NTT. 

Menurut keterangan FK, guru Bahasa Indonesia yang berinisial BB, melakukan bullying dengan menyebut bahwa, rumah FK seperti kandang babi dan orangtuanya tidak jelas. Sedangkan keterangan lain disebutkan, guru BB tidak terima lantaran kakak dari FK berpacaran dengan anaknya, sehingga BB melampiaskan emosinya ke FK. Simak berita selengkapnya di sini.

Kejadian memalukan juga dilakukan oleh guru agama yang berinisial SK, yang meneriaki siswinya (ER) dengan sebutan lonte ketika sedang di atas kapal bersama teman dan gurunya yang lain. Atas kejadian yang memalukan itu, ER memutuskan untuk berhenti bersekolah dan pindah ke Batam, lantaran tak tahan diejek oleh teman-temannya. Simak berita selengkapanya di sini.

Contoh kasus yang terakhir adalah, ketika keponakan Saya mendapatkan intimidasi dari seorang guru agama di sekolahnya karena lupa tidak membawa tajwid. Ya, keponakan Saya yang saat itu duduk di kelas 3 sekolah dasar, pulang ke rumah dengan keadaan menangis. Ketika diselidiki oleh ibu Saya, keponakan Saya berkata bahwa dia disuruh menjilati lantai kamar mandi sekolah oleh guru agamanya.

Hal itu membuat ibu Saya dan kakak Saya (ayah dari keponakan Saya) murka, mereka bergegas menemui guru tersebut dan langsung meminta klarifikasi. Saya sendir terlambat mendengar kabar atas perlakuan yang diterima oleh keponakan Saya, sehingga kasus itu berakhir dengan damai secara kekeluargaan.

Andai saja Saya yang pertama kali mendengar tangisan keponakan Saya, pasti guru itu akan Saya tuntut sampai ke ranah hukum. Saya tidak menginginkan jalur kekeluargaan untuk kasus keponakan Saya, kenapa? Karena kejadian tersebut pasti akan berulang suatu saat, entah demgan cara yang sama atau berbeda. Tapi yang jelas, perundungan dalam bentuk apapun, tidak mendapatkan tempat dalam diri Saya.

Biasanya, para guru melakukan bullying atau intimidasi kepada muridnya karena merasa "berkuasa" di kelas tersebut. Guru ingin menjadi sosok yang sangat dihormati, ditakuti oleh para murid. Padahal esensinya seorang guru adalah sebagai seorang pembimbing, pengajar, dan wakil dari orang tua yang siap mencerdaskan murid-muridnya. Hal itu Saya temui sendiri, ketika ada saja guru yang gila hormat, merasa berkuasa karena ia umurnya jauh lebih tua.

Siapapun bisa menjadi korban, dan juga pelaku. Namun yang sangat disayangkan yaitu, palaku bullying berasal dari guru yang seharusnya mendidik. Hal ini membuat para peneliti kesulitan, untuk menentukan faktor risiko dan cara intervensi. Salah satu hal yang pasti tentang bullying adalah, bahwa korban akan mengalami ketakutan emosional dalam jangka panjang, sebagai akibat dari pengalaman masa lalu mereka.

Dr Randy A. Sansone, seorang profesor di Departemen Psikiatri dan Internal Medicine di Wright State University di Dayton, Ohio, mengatakan, pasca dibully, korban bisa mengembangkan berbagai gejala psikologis serta gejala somatik, beberapa di antaranya bisa bertahan hingga mereka dewasa. 

Efek psikologis jangka panjang ini sangat mengganggu bagi masyarakat, bahkan peningkatan penembakan di sekolah dalam beberapa dekade terakhir (di Amerika), banyak pelaku penembak dalam insiden ini dilaporkan telah diganggu/bully selama bertahun-tahun sebelum mereka akhirnya hilang kesabaran, dan mengakibatkan dorongan kekerasan pada mereka sendiri. Bullying adalah masalah yang sangat serius, dan tidak bisa lagi dianggap sebagai masalah anak-anak yang harus ditangani di tempat bermain.

Peringatan hari guru tiap tahun, seharusnya bisa dijadikan momen untuk mengevaluasi tenaga pendidik di Indonesia. Namun sayangnya, ketika hari guru sedang berlangsung, banyak masyarakat hingga pejabat negara yang justru mengagung-agungkan sosok guru. Mereka semua lupa, guru hanyalah sebuah profesi, sebuah label yang disematkan kepada mereka sebagai pengajar. Sedangkan kejahatan? Tidak memandang label atau profesi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun