Profesionalitas guru dalam kasus tersebut, sangat Saya dipertanyakan. Bagaimana bisa seorang guru mempunyai dualitas kepada muridnya? Kepuasan apa yang ia capai, sehingga bisa menjadikan murid yang "bukan anak" sebagai objek bullying?
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh guru tampaknya menjadi suatu budaya yang telah mengakar, karena sampai hari ini kasus-kasus seperti yang sudah Saya sebutkan, masih saja terjadi di Indonesia.
Seorang guru yang seharusnya bisa memberi contoh yang baik, justru berperilaku sebaliknya dalam kasus-kasus di atas. Tidak heran, jika pada sebuah kelas akan ada label, "anak emas" dan "anak tiri" bagi sang guru atau sesama murid.
Apakah hal itu adil? Bukankah setiap siswa/i juga berhak mendapatkan perlakuan yang sama dari guru-gurunya? Jika hal seperti kasus-kasus tadi terus saja terjadi, tidak menutup kemungkinan akan terjadi ketimpangan kelas sosial di dalam kelas, bahkan fenomena "geng" di lingkungan sekolah, masih tetap eksis hingga hari ini.
Pada 11 April 2017, seorang siswi SMK tewas setelah dirawat di rumah sakit selama 9 hari, akibat meminum racun lantaran diintimidasi oleh gurunya. Intimidasi itu bermula ketika siswi yang berinisial AN dan tiga orang temannya, melayangkan protes kepada salah satu guru yang berinsial E, lantaran memberikan kunci jawaban Ujian Nasional Berbasis Komputer kepada anaknya yang bersekolah di sekolah yang sama dengan AN. Tak tanggung-tanggung, AN diinterogasi oleh BK dan diancam akan memenjarakannya. Simak berita selengkapnya di sini.
Mungkin di antara kita masih ada yang ingat tentang seorang siswi yang meminum racun akibat tidak tahan mendapatkan perundungan dari gurunya? Pada Agustus 2017, siswi SMP itu berinisal FK, di Kabupaten Lembata, NTT.Â
Menurut keterangan FK, guru Bahasa Indonesia yang berinisial BB, melakukan bullying dengan menyebut bahwa, rumah FK seperti kandang babi dan orangtuanya tidak jelas. Sedangkan keterangan lain disebutkan, guru BB tidak terima lantaran kakak dari FK berpacaran dengan anaknya, sehingga BB melampiaskan emosinya ke FK. Simak berita selengkapnya di sini.
Kejadian memalukan juga dilakukan oleh guru agama yang berinisial SK, yang meneriaki siswinya (ER) dengan sebutan lonte ketika sedang di atas kapal bersama teman dan gurunya yang lain. Atas kejadian yang memalukan itu, ER memutuskan untuk berhenti bersekolah dan pindah ke Batam, lantaran tak tahan diejek oleh teman-temannya. Simak berita selengkapanya di sini.
Contoh kasus yang terakhir adalah, ketika keponakan Saya mendapatkan intimidasi dari seorang guru agama di sekolahnya karena lupa tidak membawa tajwid. Ya, keponakan Saya yang saat itu duduk di kelas 3 sekolah dasar, pulang ke rumah dengan keadaan menangis. Ketika diselidiki oleh ibu Saya, keponakan Saya berkata bahwa dia disuruh menjilati lantai kamar mandi sekolah oleh guru agamanya.
Hal itu membuat ibu Saya dan kakak Saya (ayah dari keponakan Saya) murka, mereka bergegas menemui guru tersebut dan langsung meminta klarifikasi. Saya sendir terlambat mendengar kabar atas perlakuan yang diterima oleh keponakan Saya, sehingga kasus itu berakhir dengan damai secara kekeluargaan.
Andai saja Saya yang pertama kali mendengar tangisan keponakan Saya, pasti guru itu akan Saya tuntut sampai ke ranah hukum. Saya tidak menginginkan jalur kekeluargaan untuk kasus keponakan Saya, kenapa? Karena kejadian tersebut pasti akan berulang suatu saat, entah demgan cara yang sama atau berbeda. Tapi yang jelas, perundungan dalam bentuk apapun, tidak mendapatkan tempat dalam diri Saya.