Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengulik Emosi Lewat Hipnoterapi

3 November 2020   18:45 Diperbarui: 3 November 2020   19:02 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemudian, bagaimana dengan mereka yang tidak ikut-ikutan menghina Macron? Intinya sama, mereka yang tidak terpengaruh adalah mereka yang bisa mengontrol alam bawah sadar, sehingga sugesti-sugesti itu tidak bisa dengan mudah memasuki alam bawah sadar mereka.

Apa perbedaan mencolok dari orang yang mudah tersugesti dengan yang tidak? Dalam artikel sebelumnya sudah Saya jelaskan, bahwa letak perbedaannya adalah tentang "kekritisan" mereka dalam berpikir.

Murid yang tidak menangis ketika dihipnoterapi tidak berarti semuanya memiliki sikap kritis, karena kekritisan berawal dari pertanyaan-pertanyaan pada saat sesi renungan. Mereka yang lebih banyak berpikir dalam sesi itu ketimbang menangis, menunjukan bahwa mereka masih mengedepankan logikanya dalam menerima sugesti, maka bisa dikatakan bahwa mereka memiliki sikap kritis. Bukan hanya kritis, mereka yang tidak menangis dalam sesi renungan bisa juga lebih skeptis, sehingga mementahkan semua narasi yang dibicarakan oleh motivator. Bisa ditarik kesimpulan, bahwa kritis dan skeptis adalah dua sikap yang dapat menolak sugesti melalui hipnoterapi.

Mereka yang bereaksi dan tidak terhadap perkataan Macron, juga mempunyai penjelasan yang sama dalam kasus hipnoterapi di atas. Mereka yang tidak mudah terpancing oleh perkataan politisi, adalah mereka yang masih menggunakan logikanya dalam beragama. Sedangkan mereka yang lain, yang tidak bereaksi atas perkataan politisi, biasanya berasal dari orang-orang tasawuf. Kemudian, mereka yang bereaksi terhadap perkataan politisi hingga menimbulkan aksi boikot, demo, hingga mengumpat, adalah mereka yang gampang tersugesti serta tidak menggunakan logikanya dalam beragama.

Banyak alasan yang dikeluarkan oleh mereka yang bereaksi, terutama yang mengatakan bahwa sosok Nabi adalah sosok yang mereka junjung, teladan. Maka apapun bentuknya, jika dirasa menghina, maka mereka akan bereaksi.

Pernyataan di atas sebenarnya mudah sekali dibantah. Kenapa orang-orang sibuk membela Nabi yang dikarikaturkan? Padahal, Nabi pun tidak marah dan selalu sabar menerima ketika dihina, diludahi, bahkan diancam nyawanya ketika sedang berdakwah. Nabi tidak akan marah atas hal remeh berupa karikatur, terlebih, karikatur itu bertujuan untuk menyindir Islam ekstrimis.

Yang lebih konyol lagi adalah perkataan Felix Siaw, yang mengatakan "Kita bukan Nabi yang selalu sabar." Nah, berarti selama ini junjungan dia siapa? Setan? Dajjal? Ketika kita sudah bertekad untuk meneladani sikap Nabi, berarti kita harus total dalam mengimplementasikan sikap-sikapnya.

Kita sebagai manusia yang berpikir, mempunyai akal, jangan sampai kita selalu mengiyakan pernyataan-pernyataan yang bertujuan untuk memancing emosi. Ketika kita menjaga alam bawah sadar kita, artinya kita sedang menjaga kualitas hidup kita sendiri. Dampaknya? Tentu kita akan lebih "santuy" dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan drama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun