Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengulik Emosi Lewat Hipnoterapi

3 November 2020   18:45 Diperbarui: 3 November 2020   19:02 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada satu statement menarik dari Prof. Ariel Heryanto, di kala Saya berselancar di twitter. Prof. Ariel mengatakan, "Dalam sejumlah kasus, politikus memaki-maki negara lain bukan karena marah pada mereka. Tapi ingin menampikan citra tertentu untuk konsumsi publik dalam negeri sendiri". Statement itu tentunya muncul atas reaksi dari banyak pemimpin berbagai negara, yang mengutuk pernyataan Presiden Perancis, Emmanuel Macron, terkait majalah Charlie Hebdo dan pemenggalan seorang guru bernama Samuel.

Kenapa Saya tertarik dengan penyataan Prof. Ariel? Karena memang pada kenyataannya, dalam banyak kasus, para politikus sering memanfaatkan sebuah momen guna menaikkan elektabilitas mereka. Terlebih, guna mendapatkan perhatian dari publik. Trik semacam ini bukan barang baru, bukan pula sebuah hal yang tabu lagi.

Agama, dalam rentetan panjang sejarahnya, selalu dijadikan komoditi, barang dagangan oleh orang-orang yang berkepentingan, untuk meraih kekuasaan. Saya di sini tidak hanya berbicara soal Islam, tapi semua agama. Entah itu samawi, atau penghayat.

Dalam banyak kasus, kita akan sering menjumpai ketika "pemuka agama/kepercayaan" membawa konteks "murka Tuhan/dewa", untuk menakuti mereka yang awam soal agama/kepercayaan. Hal itu sebenarnya dilakukan untuk mengontrol, tapi sayangnya dijadikan alat untuk berlaku otoriter.

Banyak orang di luar sana yang berkepentingan, menjual agama, menjual rahmat Tuhan, menjual kutukan Tuhan, untuk mempengaruhi orang lain (baca: pemilik suara). Mereka yang tidak paham apa itu sugesti, pasti akan terpengaruh oleh omongan orang-orang yang sedang menjaring dukungan.

Nah, konteks apa yang ingin Saya bahas dari statement Prof. Ariel? Saya ingin sedikit mengulik dari kacamata psikologi, yaitu hipnoterapi.

Hipnotherapi adalah terapi yang dilakukan pada subjek dalam kondisi Hipnosis. Kata "Hipnosis" adalah kependekan dari istilah James Braid's (1843) "neuro-hypnotism", yang berarti "tidurnya sistem saraf". Orang yang terhipnotis menunjukan karakteristik tertentu yang berbeda dengan yang tidak, yang paling jelas adalah mudah disugesti. Hipnotherapi sering digunakan untuk memodifikasi perilaku subjek, isi perasaan, sikap, juga keadaan seperti kebiasaan disfungsional, kecemasan, sakit sehubungan stress, manajemen rasa sakit, dan perkembangan pribadi (Wikipedia).

Ketika kita sedang mendekati ujian nasional, biasanya pihak sekolah menghadirkan motivator untuk memotivasi para murid. Motivator-motivator itu menanamkan sugesti melalui narasi, video, atau musik. Saya yakin, pasti banyak di antara kalian yang menangis ketika sedang sesi renungan menjelang ujian nasional, yang dibimbing oleh motivator. Hal itu lumrah, karena memang motivator melakukan metode hipnoterapi, sehingga kalian akan tersugesti dan akhir meneteskan air mata. Mereka yang menangis adalah mereka yang berhasil disugesti, membiarkan alam bawah sadar mereka "dirasuki" oleh kata-kata sang motivator.

Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak menangis? Mereka yang tidak menangis sudah menolak dari awal sugesti itu, maka alam bawah sadar mereka pun akan menolak. Penolakan itu menyebabkan mereka tidak menangis walau seisi ruangan menangis semua. Inilah yang dinamakan kekuatan sugesti melalui hipnoterapi.

Kasus politisi yang disinggung oleh Prof. Ariel pun, secara tidak sadar melakukan hal yang sama. Yaitu memberikan sugesti kepada publik, sehingga banyak orang yang akan tergetar hatinya, yang akhirnya akan mengiyakan perkataan sang politisi.

Apalagi jika sudah menyangkut urusan agama. Mereka yang suasana hatinya sedang diaduk oleh emosi (karena perkataan Macron), akan mudah disugesti oleh politisi sehingga dapat menimbulkan berbagai reaksi. Seperti demo, memboikot produk Perancis, hingga ikut serta menghina Macron.

Kemudian, bagaimana dengan mereka yang tidak ikut-ikutan menghina Macron? Intinya sama, mereka yang tidak terpengaruh adalah mereka yang bisa mengontrol alam bawah sadar, sehingga sugesti-sugesti itu tidak bisa dengan mudah memasuki alam bawah sadar mereka.

Apa perbedaan mencolok dari orang yang mudah tersugesti dengan yang tidak? Dalam artikel sebelumnya sudah Saya jelaskan, bahwa letak perbedaannya adalah tentang "kekritisan" mereka dalam berpikir.

Murid yang tidak menangis ketika dihipnoterapi tidak berarti semuanya memiliki sikap kritis, karena kekritisan berawal dari pertanyaan-pertanyaan pada saat sesi renungan. Mereka yang lebih banyak berpikir dalam sesi itu ketimbang menangis, menunjukan bahwa mereka masih mengedepankan logikanya dalam menerima sugesti, maka bisa dikatakan bahwa mereka memiliki sikap kritis. Bukan hanya kritis, mereka yang tidak menangis dalam sesi renungan bisa juga lebih skeptis, sehingga mementahkan semua narasi yang dibicarakan oleh motivator. Bisa ditarik kesimpulan, bahwa kritis dan skeptis adalah dua sikap yang dapat menolak sugesti melalui hipnoterapi.

Mereka yang bereaksi dan tidak terhadap perkataan Macron, juga mempunyai penjelasan yang sama dalam kasus hipnoterapi di atas. Mereka yang tidak mudah terpancing oleh perkataan politisi, adalah mereka yang masih menggunakan logikanya dalam beragama. Sedangkan mereka yang lain, yang tidak bereaksi atas perkataan politisi, biasanya berasal dari orang-orang tasawuf. Kemudian, mereka yang bereaksi terhadap perkataan politisi hingga menimbulkan aksi boikot, demo, hingga mengumpat, adalah mereka yang gampang tersugesti serta tidak menggunakan logikanya dalam beragama.

Banyak alasan yang dikeluarkan oleh mereka yang bereaksi, terutama yang mengatakan bahwa sosok Nabi adalah sosok yang mereka junjung, teladan. Maka apapun bentuknya, jika dirasa menghina, maka mereka akan bereaksi.

Pernyataan di atas sebenarnya mudah sekali dibantah. Kenapa orang-orang sibuk membela Nabi yang dikarikaturkan? Padahal, Nabi pun tidak marah dan selalu sabar menerima ketika dihina, diludahi, bahkan diancam nyawanya ketika sedang berdakwah. Nabi tidak akan marah atas hal remeh berupa karikatur, terlebih, karikatur itu bertujuan untuk menyindir Islam ekstrimis.

Yang lebih konyol lagi adalah perkataan Felix Siaw, yang mengatakan "Kita bukan Nabi yang selalu sabar." Nah, berarti selama ini junjungan dia siapa? Setan? Dajjal? Ketika kita sudah bertekad untuk meneladani sikap Nabi, berarti kita harus total dalam mengimplementasikan sikap-sikapnya.

Kita sebagai manusia yang berpikir, mempunyai akal, jangan sampai kita selalu mengiyakan pernyataan-pernyataan yang bertujuan untuk memancing emosi. Ketika kita menjaga alam bawah sadar kita, artinya kita sedang menjaga kualitas hidup kita sendiri. Dampaknya? Tentu kita akan lebih "santuy" dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan drama ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun