Salah satu hal yang sering muncul di kala ada sebuah bencana (gempa/tsunami) yang terjadi adalah, munculnya teori konspirasi di balik terjadinya bencana itu. Seperti bencana yang terjadi di Turki dan Yunani baru-baru ini, gempa berkekuatan 6,6 mg hingga 7 mg (beberapa versi) itu berhasil membuat banyak bangunan runtuh bahkan tsunami skala kecil.Â
Dilansir dari laman Kompas, gempa ini dirasakan dari Istanbul hingga Athena hingga membuat gelombang pasang menerjang pesisir Izmir dan memasuki kota yang berpenduduk sekitar 3 juta jiawa. Belum ada angka yang pasti mengenai korban jiwa dan kerusakan yang disebabkan oleh gempa itu.
Bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami memang bisa diprediksi oleh teknologi atau alat pendeteksi gempa, namun, ketepatan waktu terjadinya bencana itu tidak ada yang tahu.
Di tengah ramainya berita soal bencana alam yang terjadi di Turki dan Yunani, banyak juga Saya menemui orang-orang yang mengkaitkan bencana itu dengan HAARP hingga menuding Perancis sebagai penyebabnya.Â
High Frequency Active Auroral Research Program atau Program Penelitian Aurora Aktif Frekuensi Tinggi adalah program penelitian ionosfer yang didanai bersama-sama oleh Angkatan Udara Amerika Serikat, Angkatan Laut Amerika Serikat, Universitas Alaska, dan Defense Advanced Research Projects Agency.Â
HAARP dirancang dan dibangun oleh BAE Advanced Technologies (BAEAT), HAARP bertujuan untuk menganalisis ionosfer dan menyelidiki potensi pengembangan teknologi ionosfer baru untuk komunikasi radio dan pengintaian. Program HAARP beroperasi di sebuah fasilitas subarktik besar bernama HAARP Research Station dan terletak di lahan milik Angkatan Udara dekat Gakona, Alaska.
Teori lain yang muncul dalam "bencana buatan" ini yaitu Blue Beam. Project Blue Beam adalah teori konspirasi yang mengklaim bahwa NASA bekerja sama dengan kekuatan "kuat" lainnya, yang mencoba menerapkan agama zaman baru dengan konsep antikristus di kepalanya dan memulai tatanan dunia baru, melalui "kedatangan kedua" Sang Juru selamat yang disimulasikan secara teknologi. Agama zaman baru akan menjadi pondasi utama bagi pemerintahan dunia baru, yang tanpanya (agama) kediktatoran yang sengit dari tatanan dunia baru sama sekali tidak mungkin ada.
Teori konspirasi selalu lekat dengan yang namanya depopulasi. Bahkan, seingat Saya program keluarga berencana juga dikaitkan dengan teori konspirasi. Akibatnya? Banyak orang menolak KB (khususnya kepada mereka yang beragama). Padahal, populasi manusia di dunia sudah mencapai lebih dari 6 miliar jiwa. Dan jika lonjakan populasi tidak bisa dikontrol, artinya semakin banyak ruang hijau yang terbuang, energi bumi yang semakin dikeruk habis, global warming, polusi yang merusak lapisan ozon, limbah sampah yang meningkat, hingga ketersediaan lahan kosong yang semakin menipis.Â
Padahal kita semua tahu, bahwa manusia bukan satu-satunya makhluk yang menghuni bumi. Imbasnya? Tentu krisis energi, krisis ruang hidup, yang pada akhirnya membuat banyak negara melakukan riset tentang exoplanet, mencari planet layak huni yang bisa dijadikan tempat tinggal oleh manusia ketika bumi sudah tidak lagi layak untuk ditinggali oleh manusia.
Dikutip dari Boombastis, Blue Beam didefinisikan sebagai tajuk dari sebuah proyek super rahasia yang melibatkan NASA dan juga PBB. Intinya, proyek ini bertujuan untuk membuat seolah-olah sang Messiah turun lalu kemudian mereka akan melakukan agenda besar. Ya, tatanan dunia baru alias New World Order.Â
Blue Beam sudah jadi bahasan sejak beberapa belas tahun lalu. Termasuk oleh seorang analis teori konspirasi terkenal bernama Serge Monast. Pria ini mengatakan jika proyek tersebut memang ada. Bahkan Monast menjabarkan step by step aplikasi Blue Beam ini nantinya. Intinya, proyek ini digunakan oleh pihak yang berkepentingan untuk menguasai dunia sekaligus umat manusianya.
Saya sendiri bukan termasuk orang yang mudah meremehkan bidang ilmu lain (teori konspirasi), bahkan Saya merupakan salah satu orang penikmat teori konspirasi selama lebih dari 5 tahun yang lalu. Namun, selepas tahun 2016, Saya mulai meninggalkan bidang ilmu yang sudah Saya pelajari sejak kelas 3 SMA itu.Â
Apa yang membuat Saya akhirnya "menutup" teori konspirasi itu di hidup Saya? Salah satu sahabat terbaik Saya kala itu berkata, "Jangan terlalu serius mempelajari teori konspirasi, nanti kamu akan selalu paranoid terhadap hal-hal yang kamu temui."Â
Dan memang, setiap hal yang Saya lihat maupun kejadian yang terjadi, pikiran Saya selalu tertuju pada teori konspirasi. Mulai dari bentuk bangunan seperti masjid, sajadah, benda-benda yang terdapat gambar segitiga dan mata satu, konsep musik video, hingga lirik lagu, semuanya Saya sangkutkan ke dalam teori konspirasi yang berhasil membuat pikiran Saya tidak tenang.
Menyadari ada suatu "penyakit" di dalam pikiran Saya, akhirnya membuat Saya memberanikan diri untuk tidak lagi mempelajari teori konspirasi. Bukannya membenci teori itu, tetapi Saya menjadikan pengalaman belajar teori konspirasi sebagai arsip untuk wawasan Saya. Dan ketika mendengar kata bumi datar, Blue Beam, HAARP, Saya selalu tertawa dalam hati dan kembali teringat pada masa di mana Saya begitu semangat mempelajari teori itu.Â
Sikap Saya yang saat ini acuh terhadap teori konspirasi tidak serta membuat Saya "menuhankan" sains, tetapi Saya lebih memilih untuk berpikir rasional "jika ada teori yang bisa dibuktikan validitasnya, untuk apa mempercayai teori yang belum bisa dibuktikan validitasnya?". Setelah berhasil lepas dari teori konspirasi pun, pikiran dan hati Saya jadi lebih tenang, waktu produktif Saya jadi lebih berkualitas, karena pikiran-pikiran paranoid sudah tidak lagi mengusik hidup Saya.
Ada satu komentar lucu lagi yang Saya temui dalam postingan bencana di Turki dan Yunani itu, yaitu ketika ada salah satu netizen yang berpikir kalau bencana itu disebabkan oleh Perancis yang akhir-akhir ini sedang mengalami ketegangan dengan Tuurki.Â
Logikanya sangat sederhana, sepengetahuan Saya, Yunani tidak terlibat ketegangan dengan Perancis. Lalu, kenapa Yunani juga mendapatkan efek dari "bencana buatan" itu? Lagi pula, banyak negara Islam yang bersitegang dengan Perancis, kenapa pula negara-negara Islam itu (termasuk Indonesia) tidak mengalami nasib yang sama dengan Turki dan Yunani?.
Sebuah bencana alam berarti musibah, maka sangat tidak etis bagi kita untuk mengkaitkannya dengan teori konspirasi yang kebenarannya sampai saat ini belum terbukti. Karena hal itu akan melukai perasaan orang yang sedang tertimpa musibah, menambah rumit persoalan yang sedang terjadi dengan hadirnya teori konspirasi. Kita harus lebih bijak dalam menyikapi sebuah musibah yang sedang terjadi. Jika tidak bisa berkata yang baik, maka jalan keluarnya adalah dengan diam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H