Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Banjir, Sampah, dan Kita

3 Januari 2020   08:37 Diperbarui: 3 Januari 2020   08:44 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiap tahun, banjir selalu menjadi salah satu topik yang paling sering dibicarakan di media sosial. Terlebih lagi, jika banjir itu terjadi di Jakarta. Pada saat ini, nama Anies Baswedan yang paling sering disebut dan dimintai pertanggung-jawaban oleh netizen. Sedang pada periode sebelumnya, Ahok adalah sosok yang sering dimintai pertanggung-jawabannya ketika banjir menerjang Jakarta.

Orang-orang (terutama di media sosial) terus saja meributkan peristiwa banjir yang saat ini menimpa wilayah Jakarta, Bekasi, Bogor, dan Tanggerang. Yang jadi pertanyaan, apakah mereka (netizen) berada di lokasi bencana? Saya sendiri selama dua tahun tinggal di Jakarta Utara, di mana wilayah itu merupakan salah satu wilayah langganan banjir.

Awal tahun 2014, tepatnya pada masa kepemimpinan Jokowi -- Ahok, juga terjadi banjir besar. Kebetulan waktu itu saya tinggal di Kompleks TNI AL Kelapa Gading yang mempunyai waduk dan juga pompa air sendiri. Tetapi tetap saja, waktu itu banjir berhasil menembus tanggul Kali Sunter dan memasuki area kompleks.

Saat banjir terjadi, pendukung Anies Baswedan menyalahkan Ahok sepenuhnya atas bencana banjir itu, dan pada saat ini, giliran pendukung Ahok yang menyalahkan Anis Baswedan.

Di Jakarta, banjir tiap tahun bukan sesuatu yang baru lagi. Banjir setinggi atap rumah, banjir yang memasuki kompleks perumahan elit, bukan hal yang baru pula. Tapi entah kenapa, tiap musim hujan datang, banjir di Jakarta seolah menjadi banjir yang pertama kali terjadi.

Pengguna media sosial (terutama pendukung antar rival) selalu ribut, mereka menyalahkan satu pihak saja, yaitu Pemimpin yang sedang menjalani masa jabatannya. Bahkan, saling lempar tanggung jawab juga terjadi antar pemangku tanggung jawab.

Padahal, banjir bukan hanya terjadi di Jabodetabek, tapi di semua wilayah Indonesia yang memang menjadi langganan banjir. Tetapi yang menjadi fokus perhatian masyarakat selalu saja Jakarta, padahal semua orang (semua wilayah) yang dilanda banjir patut mendapatkan perhatian.

Mereka yang tidak tinggal di Jakarta selalu ribut masalah banjir di Jakarta, padahal sebentar lagi wilayah mereka juga akan dilanda banjir. Tetapi kenapa mereka semua lebih fokus ke Jakarta? Kenapa tidak mempersiapkan diri dalam menghadapi banjir di wilayah masing-masing?

Penyebab banjir ada banyak, beberapa di antaranya adalah sampah, perilaku konsumtif, dan juga rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan sekitar. Saya sendiri terkadang heran, banyak masyarakat yang acuh terhadap kebersihan lingkungan, dan ketika banjir sudah melanda, mereka sibuk saling menyalahkan.

Dalam kasus ini saya berkaca pada diri saya sendiri, dan juga ingin memberikan sedikit pengalaman saya dalam rangka menyambut musim hujan. Tentunya saya juga ingin menyentil dinas terkait atas kendala yang saya terima selama proses penyambutan musim hujan.

Di depan rumah saya, lebih tepatnya RT sebelah, saluran irigasinya terdapat banyak sampah plastik. Saya terkadang membersihkan sampah-sampah itu, mengangkat banyak macam sampah yang ada di saluran irigasi ke atas jalan. Namun sayangnya, tindakan yang saya lakukan tidak mendapat dukungan dari pengambil sampah (yang menggunakan gerobak, dan juga dibayar per bulan oleh tiap kepala keluarga).

Para pengambil sampah itu tidak bersedia memungut sampah yang sudah saya ambil dari saluran irigasi. Alasannya pun sepele, katanya mereka tidak dibayar untuk mengambil sampah-sampah yang sudah kumpul itu, mereka hanya mengambil sampah hasil rumah tangga.

Peristiwa di atas tidak hanya terjadi di lingkungan saya tinggal, tapi juga di lingkungan bisnis kuliner Ibu saya berada. Tiap malam, saya selalu menyempatkan untuk memungut sampah plastik yang ada di saluran irigasi dan juga sekitar tempat usaha. Saya memungut sampah-sampah itu dan memasukkannya ke dalam kantong plastik berukuran besar, berharap esoknya akan diambil oleh petugas kebersihan yang dibayar oleh Pemkot.

Tapi sayangnya ekspektasi saya tidak terealisasi, para petugas kebersihan itu juga tidak bersedia memungut sampah yang sudah saya kumpulkan atas dasar "tidak dibayar untuk itu". What the hell? Alhasil, kumpulan sampah itu dibawa pulang ke rumah saya oleh salah satu pekerja Ibu saya, dan akhirnya saya masukkan ke tempat sampah milik keluarga saya.

Masalah sampah dan banjir bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga kita semua. Kita semua harus peka terhadap kebersihan lingkungan, terutama ketika mendekati musim hujan. Lakukan segala sesuatu (sederhana pun tak apa) guna menyambut musim hujan, agar daerah yang kita tinggali tidak dilanda banjir.

Namun sayangnya di Indonesia, sangat sedikit orang yang sadar seperti saya (bukan bermaksud sombong). Tiap tahun manusia semakin individualis, semakin mementingkan diri sendiri dan yang dimilikinya sendiri, sehingga mereka lupa bahwa manusia adalah makhluk sosial. Seperti halnya saya, tetangga saya bilang "untuk apa membersihkan irigasi RT sebelah? Lebih baik bersihkan yang ada di depan rumahmu saja."

Dalam hati saya menjawab, "loh, saya sudah membersihkan sampah yang ada di depan rumah. Dan, apa salahnya membersihkan sampah milik area RT lain?". Tapi akhirnya saya berani menjawab pertanyaan dari tetangga saya itu dengan jawaban, "kalau bukan saya, siapa lagi? Saya pemuda di sini, menyandang gelar sarjana pula."

Jika kalian bertanya, "di mana pemuda yang lain?", mereka sedang sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Nongkrong, pacaran, hedonis, dan juga kerja, rata-rata pemuda di lingkungan saya tinggal tidak peduli dengan keadaan kebersihan lingkungan, mereka sibuk mencari uang untuk kebutuhan hidup mereka masing-masing.

Tidak ada gunanya mempermasalahkan nasi yang sudah menjadi bubur, yang perlu kalian lakukan adalah, peduli dengan kebersihan lingkungan kalian sebelum banjir melanda wilayah kalian masing-masing. Untuk apa selalu fokus kepada Jakarta sedang kalian tidak berada di sana? Tidak ada gunanya menyalahkan pemimpin Jakarta, toh, kalian tidak sedang dipimpin oleh Anis Baswedan.

Jika kalian tidak bisa memberikan bantuan kepada saudara kalian yang ada di Jabodetabek, setidaknya jangan bikin rusuh media sosial dengan berbagai komentar kalian. Support mereka yang menjadi korban banjir, berikan dukungan moral kepada mereka. Kalian tidak perlu menjadi orang jahat yang ribut di medsos di atas penderitaan korban banjir, kalian tidak perlu membuang waktu produktif kalian dengan menghujat Anies Baswedan.

Percayalah, dukungan moral dari kalian lebih berharga daripada komentar negatif kalian ke Anies Baswedan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun