Para pengambil sampah itu tidak bersedia memungut sampah yang sudah saya ambil dari saluran irigasi. Alasannya pun sepele, katanya mereka tidak dibayar untuk mengambil sampah-sampah yang sudah kumpul itu, mereka hanya mengambil sampah hasil rumah tangga.
Peristiwa di atas tidak hanya terjadi di lingkungan saya tinggal, tapi juga di lingkungan bisnis kuliner Ibu saya berada. Tiap malam, saya selalu menyempatkan untuk memungut sampah plastik yang ada di saluran irigasi dan juga sekitar tempat usaha. Saya memungut sampah-sampah itu dan memasukkannya ke dalam kantong plastik berukuran besar, berharap esoknya akan diambil oleh petugas kebersihan yang dibayar oleh Pemkot.
Tapi sayangnya ekspektasi saya tidak terealisasi, para petugas kebersihan itu juga tidak bersedia memungut sampah yang sudah saya kumpulkan atas dasar "tidak dibayar untuk itu". What the hell? Alhasil, kumpulan sampah itu dibawa pulang ke rumah saya oleh salah satu pekerja Ibu saya, dan akhirnya saya masukkan ke tempat sampah milik keluarga saya.
Masalah sampah dan banjir bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga kita semua. Kita semua harus peka terhadap kebersihan lingkungan, terutama ketika mendekati musim hujan. Lakukan segala sesuatu (sederhana pun tak apa) guna menyambut musim hujan, agar daerah yang kita tinggali tidak dilanda banjir.
Namun sayangnya di Indonesia, sangat sedikit orang yang sadar seperti saya (bukan bermaksud sombong). Tiap tahun manusia semakin individualis, semakin mementingkan diri sendiri dan yang dimilikinya sendiri, sehingga mereka lupa bahwa manusia adalah makhluk sosial. Seperti halnya saya, tetangga saya bilang "untuk apa membersihkan irigasi RT sebelah? Lebih baik bersihkan yang ada di depan rumahmu saja."
Dalam hati saya menjawab, "loh, saya sudah membersihkan sampah yang ada di depan rumah. Dan, apa salahnya membersihkan sampah milik area RT lain?". Tapi akhirnya saya berani menjawab pertanyaan dari tetangga saya itu dengan jawaban, "kalau bukan saya, siapa lagi? Saya pemuda di sini, menyandang gelar sarjana pula."
Jika kalian bertanya, "di mana pemuda yang lain?", mereka sedang sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Nongkrong, pacaran, hedonis, dan juga kerja, rata-rata pemuda di lingkungan saya tinggal tidak peduli dengan keadaan kebersihan lingkungan, mereka sibuk mencari uang untuk kebutuhan hidup mereka masing-masing.
Tidak ada gunanya mempermasalahkan nasi yang sudah menjadi bubur, yang perlu kalian lakukan adalah, peduli dengan kebersihan lingkungan kalian sebelum banjir melanda wilayah kalian masing-masing. Untuk apa selalu fokus kepada Jakarta sedang kalian tidak berada di sana? Tidak ada gunanya menyalahkan pemimpin Jakarta, toh, kalian tidak sedang dipimpin oleh Anis Baswedan.
Jika kalian tidak bisa memberikan bantuan kepada saudara kalian yang ada di Jabodetabek, setidaknya jangan bikin rusuh media sosial dengan berbagai komentar kalian. Support mereka yang menjadi korban banjir, berikan dukungan moral kepada mereka. Kalian tidak perlu menjadi orang jahat yang ribut di medsos di atas penderitaan korban banjir, kalian tidak perlu membuang waktu produktif kalian dengan menghujat Anies Baswedan.
Percayalah, dukungan moral dari kalian lebih berharga daripada komentar negatif kalian ke Anies Baswedan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H