Sekulerisme secara umum yaitu sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan negara harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Orang yang menganut ideologi ini menganggap bahwa agama seharusnya berada di bawah negara dan menjadi urusan pribadi tiap personal. Contoh sekulerisme yang pernah terjadi di Eropa yaitu Renaisans, dimana waktu itu Gereja memiliki kekuasaan untuk memaksa sipil, menggunakan agama untuk kepentingan kelompok mereka, kebebasan berpikir sangat dibatasi pada masa renaisans. Renaisans sendiri merupakan sebuah gerakan budaya yang berkembang pada abad 14 sampai 17, renaisans di mulai di Italia, dan menyebar ke seluruh eropa. Renaisans atau yang disebut dengan Dark Ages adalah masa dimana sains berada di bawah otoritas agama.
Di Indonesia sendiri, pemisahan agama dengan negara sering dilontarkan oleh berbagai kalangan, terutama yang menyangkut masalah politik. Mereka yang mendukung Ahok misalnya, menganggap bahwa pernyataan Ahok terkait Al Maidah merupakan sebuah pernyataan yang tidak menista agama Islam, karena menurut mereka, Ahok hanya mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak tertipu dengan tokoh politik yang mengatasnamakan agama. Sedangkan dalam pandangan FPI dan orang-orang yang kontra terhadap Ahok mengganggap bahwa ucapan itu merupakan sebuah penistaan, sehingga terjadilah aksi demo berjilid yang bertujuan untuk menghakimi Ahok.
Dalam kasus Ahok itu sebenarnya sudah tergambar dua kelompok yang mencolok, yaitu mereka yang menganggap bahwa agama seharusnya tidak dicampurkan dengan urusan politik, dan mereka yang menganggap bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari agama. Melalui kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok itulah, di Indonesia mulai muncul sebuah fenomena-fenomena yang berhubungan dengan Post Sekulerisme. Post sekulerisme muncul berkaitan dengan gagalnya sekulerism yang ada dalam masyarakat Indonesia, sekaligus metaforfosis agama yang kini banyak di jumpai dalam ruang publik dan berhasil mengambil alih perhatian publik. Bagaimanakah post sekulerism bekerja di Indonesia? Dalam tulisan ini saya ingin sedikit membahas salah satu gejala post sekulerism di Indonesia, yaitu perihal dakwah dan hendonis.
Semenjak pertarungan PilGub DKI Jakarta, kemunculan post sekulerism sebenaranya sudah bisa terdeteksi, yaitu dengan semakin banyaknya Ustadz dadakan di dunia nyata dan dunia maya. Mereka yang menjual ayat dalam urusan politik berhasil mengambil alih perhatian publik, terutama terhadap mereka yang kontra dengan Jokowi dan Ahok.
Mulai periode tahun 2016 mulai banyak bermunculan orang-orang awam yang seolah sangat memahami agama Islam, mereka ketika berdebat di media sosial sering menggunakan satu dua butir ayat, namun sebenarnya mereka tidak memahami ayat yang mereka bawa. Semisal jika dilihat dari azbabun nuzul, latar belakang diturunkannya ayat serta hadist, hingga periode waktu yang dimaksud  oleh ayat dan hadist itu. Mereka yang kontra terhadap Jokowi dan Ahok terus saja menyerang kedua tokoh itu dengan bermacam-macam ayat, yang tujuannya adalah untuk mempengaruhi opini publik sehingga suara untuk kedua tokoh itu berkurang.
Dengan semakin maraknya fenonema di atas, semakin memunculkan banyak pendakwah dadakan, khususnya dari kalangan milenial. Semakin berganti tahun, hingga pada tahun 2019 ini, pelaku dan fenomena di atas semakin banyak terjadi. Dan terbukti, agama berhasil masuk ke dalam ruang publik dan mendapatkan banyak perhatian dari masyarakat sehingga semakin muncullah fenomena hijrah.
Fenomena hijrah menjadi mesin penggerak utama post sekulerism, hal itu dibuktikan dengan banyaknya anak muda yang tiba-tiba memakai hijab, cadar, hingga niqab, berlagak seolah menjadi orang kepercayaan Tuhan dengan seenaknya menghakimi mereka yang berbeda pandangan, terutama yang bekaitan dengan pemisahan agama dari ruang publik.
Fenomena hijrah semakin berkembang pesat dengan kehadiran influencer, selebgram, hingga anak dari tokoh-tokoh agama yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. kemunculan merekalah yang tadi saya sebut dengan dakwah dan pendakwah. Mereka yang memelopori gerakan hijrah memiliki ratusan ribu hingga jutaan pengikut di media sosial, dan dengan banyaknya pengikut otomatis akan semakin mempermudah jalan mereka dalam berdakwah. Hemat saya, berdakwa tidak ada salahnya sama sekali, namun yang menjadi perhatian saya adalah, mereka berdakwah dengan dikelilingi oleh kehedonisan. Mereka berdakwah dengan menggunakan agama sekaligus menawarkan produk kepada para pengikutnya. Hal ini otomatis akan mempengaruhi jualan mereka, dan alhasil, kehedonisan semakin nampak pada diri pendakwah milenial itu.
Dakwah jika meniru Nabi Muhammad, pastinya Nabi berdakwah tidak secara hedonis, pamer, hingga sikap egois. Nabi dalam mensyiarkan agama Islam dengan cara-cara yang sederhana, tidak melebih-lebihkan, dan tidak memaksakan apa yang Ia percayai kepada pendengarnya, terutama khalayak umum. Namun coba lihat Taqy Malik, salah satu pendakwah yang sempat ribut dengan saya. Dia berdakwah sembari memamerkan kemewahannya, hartanya, barang-barang branded yang dibeli, serta fashion yang selalu ia perlihatkan di media sosial miliknya. Tentu saya sangat keberatan jika orang ingin punya mobil mewah, rumah, katanya cukup hanya dengan bersholawatan. Gila, kan?
Jika kita ingin menjadi orang sukses, kita harus berusaha, tidak cukup hanya dengan bermodal sholawatan. Sedang esensi sholawat itu sendiri? Sholawatan bertujuan untuk mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad di akhirat kelak, namun pada kenyataannya, Taqy Malik menggunakan agama demi memenuhi hasrat kehedonisan yang ia miliki.
Salah satu selebgram lain adalah Ria Ricis. Jika dilihat dari luar, Ria Ricis sangat agamis, sholehah, imannya kuat, dengan dibaluti busana syar'i, Ria Ricis berhasil mendobrak pasar milenial dalam urusan yang berkaitan agama. Saya tidak menyebut Ria Ricis sebagai seorang pendakwah, karena saya sendiri tahu, awalnya ia hanya membuat konten yang bersifat humor atau parodi. Namun coba lihat kini, banyak konten dari Ria Ricis yang justru memperlihatkan ia sedang pamer dengan harta yang ia miliki.